CHAPTER 36 - END

119 9 0
                                    

Kediaman Ashford, yang dahulu adalah tempat bernaung dan tawa, kini diselimuti oleh duka mendalam yang membekap segenap jiwa yang menghuni rumah itu. Keluarga Ashford, yang telah menghadap ke perpisahan sebelumnya, kini harus menanggung kehilangan yang tak terduga lagi.

Berhari-hari, Aeris dan Theo mengurung diri di kamar masing-masing, berusaha merenungi kehampaan dan kekosongan yang kini menggantikan kehadiran Alex. Dunia mereka seolah runtuh, meninggalkan mereka tanpa tempat bersandar. Tidak ada lagi sosok yang bisa mereka andalkan di tengah kegelapan yang menyelimuti hidup mereka.

Namun, pada suatu sore yang suram, suasana duka dipecahkan oleh suara keras. Pintu kamar Theo terbuka dengan kasar, mengganggu keheningan yang telah mereka ciptakan. Aeris, dengan wajah yang dipenuhi air mata, berdiri di ambang pintu. Suara pintu yang membentur dinding membuat Theo terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak, merasakan deja vu, ingatan yang kembali ke saat Aeris pertama kali mengetahui tentang penyakit Alex. Namun kali ini, apa yang terjadi?

Theo duduk di tepi ranjang, menatap Aeris dengan mata yang dipenuhi keheranan dan kekhawatiran. Matanya mencari tahu alasan dari tindakan gadis itu. Aeris berlari menghampiri Theo, tangan kecilnya menggenggam erat kedua lengan kakaknya. Wajahnya penuh dengan tekad dan kemarahan yang tak tertahan.

"Ayo kita cari wanita tua itu!" serunya, suaranya penuh dengan tekad dan keputusasaan. "Aku akan mengembalikan segalanya. Seharusnya aku yang mati, bukan kakak!!"

Theo menundukkan kepalanya, merasakan beratnya rasa kehilangan yang menimpa dirinya juga. Ia menggeleng perlahan, mencoba menahan perasaan hancur yang hampir melumpuhkan dirinya.

"Ayo, Theo!" seru Aeris lagi, suaranya penuh dengan desakan. "Aku tidak bisa diam saja! Ini semua salahku, ini semua karena aku! Karena aku, kakak—!"

"Cukup!!" potong Theo tegas, suaranya menggema dengan otoritas yang tidak biasanya. Ia bangkit dari ranjang, kedua tangannya mencengkeram erat lengan Aeris, seolah berusaha menyalurkan kekuatan dan keberanian untuk melawan keputusasaan.

"Berhenti menyalahkan dirimu!! Jangan buat pengorbanan kakak jadi sia-sia!!" Theo menyatakan, dengan tatapan marah namun penuh kasih sayang.

Aeris terdiam mendengar suara keras dan melihat raut wajah marah Theo. Kedua matanya kembali memanas, air mata membanjiri pipinya tanpa bisa dibendung lagi.

"T-tapi—" Aeris mencoba menyela, suaranya masih bergetar.

"Cukup!" Theo memotong lagi, kali ini suaranya penuh dengan kesedihan dan kemarahan. "Aku tidak ingin mendengar apapun lagi! Aku tahu kamu merasakan kehilangan, tapi aku juga!! Apa kamu lupa? Dia juga kakakku..." Theo berujar dengan penuh emosi, suara terputus-putus karena tangisnya sendiri.

Dengan tangisan yang tidak tertahan, Aeris akhirnya menangis dengan keras. Theo, melihat betapa hancurnya adiknya, tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia menarik Aeris ke dalam dekapannya, tubuhnya bergetar mengikuti tangis adiknya.

"Aku mohon, berhenti menyalahkan dirimu. Tidak ada yang menyalahkanmu... kamu berhak bahagia, Aeris..." bisik Theo dengan suara tertahan oleh tangis, mencoba menenangkan adiknya yang terisak dalam dekapannya.

Aeris meremas baju Theo, membenamkan wajahnya di dada pria itu, menangis keras menumpahkan segala kesedihan dan kepedihan yang menggelora di hatinya.

"Theo, kamu..." panggilnya dengan suara pelan. "Jangan pernah coba-coba menghilang dari pandanganku. Jangan mati tanpa seizinku. Jangan pergi! Jangan mati!" Aeris memohon dengan suara yang penuh dengan ketidakberdayaan dan ketakutan.

"Iya, aku tidak akan pergi. Aku akan tetap di sisimu sampai kamu muak denganku dan mengusirku," jawab Theo dengan lembut, berusaha memberi rasa aman di tengah kesedihan.

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang