CHAPTER 29

45 5 0
                                    

Hari itu, langit cerah seakan memberi harapan, namun di dalam hati Aeris dan Theo, awan kelabu tak kunjung pergi. Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong panjang menuju ruang terapi. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah-olah membawa beban yang tak terlihat. Mereka tiba di depan ruangan di mana Alex sedang menjalani kemoterapi. Aeris merasakan dada yang sesak. Ia tidak sanggup melihat lebih dekat, memilih untuk berdiri di kejauhan sambil menggenggam erat tangan Theo.

Di dalam ruangan, Alex terbaring, berusaha menghadapi rasa lelah yang menjalar di tubuhnya. Mesin-mesin berdenging pelan, memberikan irama monoton yang seakan menegaskan betapa seriusnya kondisi ini. Setiap tetes obat yang mengalir melalui infus adalah perjuangan, namun Alex tetap berusaha tersenyum di balik rasa sakit yang ia rasakan. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam, dan mencoba berpikir tentang hal-hal yang membuatnya bahagia—wajah adik-adiknya, canda tawa mereka, kebersamaan yang hangat. Itu yang memberinya kekuatan untuk bertahan.

Di luar, Aeris tidak bisa menahan tangis yang akhirnya pecah. Air mata mengalir di pipinya, dan Theo, yang berada di sampingnya, hanya bisa merangkulnya dan menepuk bahunya dengan lembut. "Semua akan baik-baik saja, Aeris," ucapnya pelan, mencoba menenangkan, meski ia sendiri tak bisa menenangkan diri.

Setelah waktu yang terasa seperti berabad-abad itu berlalu, pintu ruangan terbuka, dan Alex keluar dengan senyum cerah yang seakan menepis semua kekhawatiran. Aeris cepat-cepat menghapus air matanya, sementara Theo menegakkan tubuhnya.

"Apa kalian sudah menunggu terlalu laam?" tanya Alex dengan nada cemas, memperhatikan kedua adiknya.

"Tidak sama sekali," jawab Aeris cepat, mencoba menenangkan hati sang kakak, diiringi anggukan dari Theo yang berdiri di sebelahnya.

Alex tersenyum, menatap mereka dengan penuh kehangatan. "Apa kalian lapar? Ayo kita makan sesuatu yang enak."

Mereka bertiga kemudian berjalan menuju restoran mewah yang tak jauh dari rumah sakit. Di sana, suasana berbeda jauh dari yang baru saja mereka alami—hangat, penuh cahaya, dengan aroma makanan lezat yang menggoda. Namun, di tengah kegembiraan itu, Aeris tak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang cemas. Alex, yang peka terhadap perasaan adiknya, menyadari hal itu.

"Ada apa, Aeris?" tanyanya lembut, mencoba menelisik kegelisahan yang tersembunyi.

Aeris terdiam sejenak, terlihat ragu. Namun akhirnya, ia memberanikan diri untuk bertanya, "Apa rasanya sakit? Kemoterapi itu?"

Alex menggeleng lemah, sambil tetap tersenyum. "Tidak sama sekali," jawabnya tenang. Meski sebenarnya, rasa sakit itu tetap ada, namun ia tak ingin menambah beban di hati adik-adiknya.

"Syukurlah kalau begitu," Aeris menghela napas lega. "Aku tidak ingin Kakak merasakan sakit."

Alex tertawa kecil, matanya melembut. "Bagaimana bisa aku merasakan sakit kalau Aeris-ku memperhatikanku sampai seperti ini?"

"Kakak~! Berhenti mengatakan hal yang memalukan seperti itu." Wajah Aeris memerah, ia merasa malu namun juga tersentuh.

Ia kemudian menoleh ke arah Theo dengan tatapan menuduh. "Pasti kamu yang mengajari Kakak, kan?"

Theo yang sedang mengunyah makanannya hampir tersedak. "Apa? Untuk apa aku mengajari kakak mengatakan hal yang memalukan seperti itu!" balas Theo tak terima, matanya menyipit menatap Aeris.

"Halah! Kamu sendiri juga sering mengatakan hal memalukan seperti itu."

Pertengkaran kecil yang penuh canda tawa itu terus berlangsung, memenuhi ruangan dengan suasana ceria. Sejenak, mereka melupakan beban berat yang menggantung di hati masing-masing.

Alex memandang kedua adiknya dengan senyum tulus. Dalam hatinya, ia berdoa, berharap bisa terus melihat momen hangat seperti ini untuk waktu yang lama. Waktu yang ia tahu, mungkin tidak akan panjang, namun ia ingin memastikan bahwa setiap detiknya penuh dengan cinta dan kebahagiaan.

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang