CHAPTER 27

44 4 0
                                    

Sudah tiga hari berlalu sejak tim SAR memulai pencarian, namun Alex masih belum mendapatkan kabar tentang Aeris.

Baik Alex maupun Theo, saat ini dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Tubuh mereka mulai kurus karena tidak makan dengan baik, kantung mata yang menghitam, dan bibir yang kering dan pucat menandakan kelelahan yang amat sangat. Selama tiga hari tanpa tidur yang baik, mereka terus menunggu berita tentang adik mereka, berharap bisa bertemu dengan Aeris meskipun hanya dalam bentuk jasad.

Alex duduk bersandar di sofa, menatap dengan tatapan kosong. Di depannya, televisi terus menayangkan perkembangan pencarian korban kecelakaan pesawat.

Dengan suara yang hampir tak terdengar, Alex bergumam, "Aku bahkan belum melihatnya memakai toga wisuda, memakai baju pengantin yang cantik, menikah dengan pria baik pilihannya." Air mata tak hentinya mengalir dari sudut matanya, mengiringi setiap penyesalan yang menghantam hatinya.

Bibi Marie, kepala pelayan yang setia mengabdi pada keluarga Ashford, menatap Alex dengan tatapan prihatin. Wanita tua itu juga merasakan kesedihan yang mendalam setelah mendengar kabar kecelakaan itu. Bagaimanapun, Aeris sudah ia anggap seperti putrinya sendiri.

Dengan langkah hati-hati, Bibi Marie membawakan seporsi makanan dan menaruhnya di meja depan Alex. "Tuan, Anda belum makan sejak kemarin. Tolong isi perut Anda. Anda harus tetap sehat agar bisa mencari Nona."

Namun, Alex tetap diam. Ia masih tenggelam dalam penyesalannya, tmatanya tetap terpaku pada layar televisi yang terus menyiarkan kabar duka. Bibi Marie mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir di pipinya. Kemudian, dengan perasaan berat, ia meninggalkan Alex sendirian, memberikan ruang bagi sang kepala keluarga untuk merenung.

Di lain tempat, Theo sedang berbaring di tempat tidur Aeris, di kamar yang digunakan oleh gadis itu selama ini. Aroma manis khas milik Aeris masih tercium, membawa Theo kembali ke kenangan yang mereka bagi bersama. Ia memejamkan matanya, berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

"Aeris... kamu di mana?" bisiknya lirih, suaranya penuh dengan kerinduan dan penyesalan.

Ia membenamkan wajahnya ke bantal, mencari sisa-sisa kehangatan dari adiknya. "Aku bahkan belum sempat meminta maaf padamu," ucapnya lirih, suaranya hampir tak terdengar.

Dengan napas yang tercekat, ia kembali bersuara. "Maafkan kakakmu yang bodoh ini. Pulanglah, Aeris. Aku akan memperlakukanmu dengan baik." Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti pisau yang menusuk hatinya sendiri, mengingatkan akan semua kesalahan dan penyesalan yang ia miliki.

Di tengah keheningan yang menyelimuti rumah itu, kedua kakak itu terjebak dalam kesedihan yang mendalam. Masing-masing tenggelam dalam penyesalan dan harapan yang tak berujung. Hari-hari berlalu dengan perlahan, seperti menunggu datangnya sebuah keajaiban yang mungkin tak pernah datang.

 Hari-hari berlalu dengan perlahan, seperti menunggu datangnya sebuah keajaiban yang mungkin tak pernah datang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alex duduk di kamarnya, seolah terjebak dalam keheningan yang membekukan waktu. Tangannya memegang sebuah kotak kecil berwarna hitam yang kini tampak berat di tangannya. Dengan gerakan hati-hati, ia membuka kotak itu. Di dalamnya, tersimpan sebuah kalung berbentuk bunga lily. Kalung dengan simbol kasih sayang dan harapan, seharusnya ia berikan kepada Aeris di hari pernikahannya suatu hari nanti. Namun kini, semua itu terasa sia-sia.

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang