Malam mulai merambat turun, membawa serta angin dingin yang lembut menyapu penginapan tempat mereka akan menghabiskan malam. Penginapan itu terletak di tengah-tengah alam yang masih alami, dikelilingi oleh pepohonan tinggi yang menjulang seperti raksasa pelindung. Langit malam yang mulai gelap dihiasi oleh bintang-bintang kecil yang bersinar redup, seolah menjadi saksi bisu perjalanan mereka.
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Aeris dan teman-temannya akhirnya tiba di penginapan. Begitu turun dari bus, langkah kaki Aeris terasa lebih berat, bukan karena lelah fisik, tetapi karena perasaan asing yang merambat di hatinya. Ia tahu, ia akan berbagi kamar dengan tiga orang teman sekelasnya—Lucy, Sarah, dan Jessica—yang sebenarnya tidak pernah dekat dengannya.
Pintu kamar terbuka, menampakkan ruangan sederhana dengan empat ranjang yang berjajar rapi. Ketiga gadis itu masuk terlebih dahulu, memilih tempat tidur masing-masing tanpa banyak bicara. Aeris mengikuti di belakang, tanpa ada niat untuk memulai percakapan.
Sejak awal, ia memang tidak pernah merasa perlu untuk berbaur dengan teman-teman yang lain. Theo, Rafael, dan Julian adalah tiga orang yang ia izinkan masuk ke dalam dunianya. Sementara yang lain, ia biarkan tetap berada di luar, terhalang oleh tembok yang ia bangun sendiri.
"Aeris, kamu pilih tempat tidur yang mana?" tanya Lucy.
Aeris hanya menoleh ke arah ranjang yang tersisa di pojok, memilih tempat yang paling jauh dari jendela. Ia meletakkan tasnya dengan pelan di atas ranjang, lalu duduk di tepi, matanya mengamati sekeliling ruangan dengan pandangan kosong.
"Kalau begitu, kita istirahat dulu ya. Nanti ada acara pembukaan di aula," ujar Jessica sambil mengatur barang-barangnya.
"Jangan sampai telat," tambah Sarah.
Aeris mengangguk sekali lagi, tanpa suara. Mereka bertiga melanjutkan aktivitas masing-masing, dan Aeris pun meloloskan diri ke dalam pikirannya sendiri. Ia tidak merasa sedih atau kesepian. Baginya, kesendirian adalah sebuah kenyamanan. Dalam sepi, ia bisa mendengar suara hatinya sendiri lebih jelas, jauh dari kebisingan dunia luar yang seringkali membingungkan.
Setelah berganti pakaian dan sedikit beristirahat, suara bel keras menggema di seluruh penginapan, memanggil semua siswa untuk berkumpul di aula. Aeris keluar dari kamarnya, berjalan di belakang Lucy, Sarah, dan Jessica, tetap dalam diam.
Aula besar itu dipenuhi oleh siswa-siswa yang tampak bersemangat. Suara tawa dan obrolan bercampur menjadi satu, menciptakan simfoni kegembiraan yang kontras dengan keheningan batin Aeris. Dia memilih tempat duduk di barisan belakang, jauh dari keramaian, dan membiarkan tatapannya melayang ke arah panggung.
Acara pembukaan dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah, suaranya yang tegas namun hangat menggema di seluruh ruangan. "Selamat datang di karya wisata tahun ini. Ini adalah kesempatan bagi kalian untuk tidak hanya belajar dari alam, tetapi juga mempererat hubungan dengan teman-teman kalian."
Aeris mendengarkan kata-kata itu, tapi hatinya tidak tergerak. Bagi orang lain, mungkin ini adalah momen untuk menciptakan kenangan manis, tetapi bagi Aeris, ini hanyalah waktu yang harus dilalui sampai ia bisa kembali ke tempat di mana ia merasa benar-benar nyaman—di rumah.
Instruksi demi instruksi disampaikan, dari jadwal kegiatan hingga peraturan yang harus dipatuhi selama karya wisata. Para siswa mendengarkan dengan antusias, namun Aeris hanya setengah mendengar. Pikirannya melayang jauh, bertanya-tanya bagaimana keadaan Alex. Apakah dia baik-baik saja?
Ketika akhirnya acara pembukaan selesai, dan para siswa mulai beranjak dari tempat duduk mereka, Aeris tetap tinggal sejenak. Ia menatap panggung yang kini kosong, seolah-olah panggung itu adalah cerminan dari dirinya sendiri—kosong dan sunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir yang Berulang [END]
FantasyAeris adalah seorang gadis muda yang selalu merasakan tekanan dan ketidakadilan dari kedua kakak tirinya, Alex dan Theo. Sejak kecil, hidupnya penuh dengan penderitaan dan ketidakbahagiaan. Kebencian Aeris terhadap mereka tumbuh seiring berjalannya...