CHAPTER 10

112 12 6
                                    

Di rumah sakit, hanya terdengar suara alat-alat medis yang berdenging dan berdetak pelan. Aeris terbangun dari tidurnya, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya terang yang memenuhi ruangan serba putih itu.

"Di mana ini?" gumamnya, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia mencoba duduk, tapi rasa nyeri membuatnya mengerang pelan.

Seorang wanita berseragam perawat datang, memeriksa keadaan Aeris dengan hati-hati. "Kakak perawat, apa yang terjadi? Kenapa saya bisa ada di sini?" tanya Aeris dengan suara parau.

"Apa adik tidak ingat? Tadi siang kamu mengalami kecelakaan," jawab perawat itu dengan lembut.

"Kecelakaan?" Aeris terdiam sejenak, berusaha mengingat kembali kejadian yang dialaminya. Kedua matanya membelalak saat ingatan itu muncul dengan jelas. "Oh! Bagaimana dengan orang tua dan kakak saya?"

"Tenanglah, mereka sedang dirawat di ruangan lain," ucap perawat itu mencoba menenangkan Aeris.

Aeris menghela nafas lega, "Apa saya bisa menemui mereka?" tanyanya penuh harap.

Perawat itu mengangguk, lalu mengantarkan Aeris ke ruang rawat inap lain. Saat memasuki ruangan itu, Aeris terdiam, menatap Alex dan Theo yang terbaring di ranjang masing-masing.

"Mereka baik-baik saja, kan?" tanya Aeris cemas.

"Jangan khawatir, tidak lama lagi mereka pasti akan sadar."

"Tapi... kenapa ruangan mereka terpisah dari saya?" Aeris memandang perawat itu dengan penuh kebingungan.

Perawat itu menjelaskan dengan ragu, "Karena... mereka terluka lebih parah dari adik."

Aeris melihat perban yang melilit di kaki dan tangan kiri Theo, kemudian beralih menatap Alex yang lehernya dipasangi alat penyangga. "Kenapa mereka bisa terluka separah itu, sedangkan aku hanya mengalami luka ringan seperti ini?" gumamnya pelan, menatap dengan perasaan campur aduk.

Aeris memejamkan kedua matanya, berusaha mengingat kembali kejadian yang terjadi begitu cepat itu. Ia teringat saat itu Alex memeluknya dengan sangat erat, mencoba melindunginya dari bahaya.

Aeris menatap sang perawat dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Bagaimana dengan Ayah dan Ibu saya?" tanyanya dengan suara bergetar.

Tanpa banyak bicara, sang perawat pun mengantarkan Aeris ke ruang ICU.

"Ayah," ucap Aeris dengan suara lirih. Air matanya perlahan mulai jatuh ketika ia melihat sang ayah yang terbaring tak sadarkan diri di ruangan itu, dengan begitu banyak alat-alat medis yang ditempelkan di tubuhnya. Tangis Aeris semakin keras. "Ayah, maafkan aku... karena aku, kalian semua..."

Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan ICU, namun tak menemukan sang ibu. "Di mana Ibu saya? Kenapa tidak ada di sini?" tanya Aeris penuh kecemasan.

Namun, perawat itu tak langsung menjawab.

"Kakak perawat?" panggil Aeris lagi, tapi tetap tak ada jawaban.

"Kakak perawat! Tolong jawab, dimana Ibu saya?" tanya Aeris dengan tangis yang tertahan.

Perawat itu menunduk, menolak untuk menjawab. Namun tanpa diberitahu, Aeris sudah tahu jawaban dari pertanyaannya akan mengarah ke mana. Perlahan-lahan ia mulai kehilangan kekuatan di kakinya, terduduk ke lantai dan mulai menangis lagi. "Tidak mungkin... itu tidak mungkin," gumamnya. "Aku kan sudah menyelamatkan Ibu sebelumnya... tidak mungkin semua yang kulakukan itu jadi sia-sia."

"Kakak, cepat beritahu, di mana Ibu saya?" ucapnya lagi sambil memohon di kaki sang perawat. "Aku yakin dia pasti baik-baik saja."

Perawat itu berkata dengan lirih, "Adik, tenangkan dirimu..."

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang