CHAPTER 12

95 9 7
                                    

Di tengah rumah yang sunyi dan dingin, seperti sebuah kapal yang hancur terombang-ambing di tengah lautan yang tak bertepi, Bibi Margaret kembali memasuki kehidupan Aeris dengan langkah yang penuh percaya diri, seakan-akan dia adalah penguasa baru. Seperti masa lalu yang penuh luka, Bibi Margaret menetap di rumah ini dengan alasan mulia—'sebagai seorang wali yang harus menjaga keponakannya.' Namun, di balik alasan itu, tampak jelas ada ambisi dan kepentingan pribadi yang lebih dalam. Walaupun Alex sudah berulang kali menyatakan bahwa dia bisa mengurus rumah dan adik-adiknya sendiri, Bibi Margaret bersikeras, menolak untuk pergi.

Dengan penuh rasa curiga, Aeris mendapati Bibi Margaret mendatangi kamarnya. "Bibi, ada urusan apa ke kamarku?" tanya Aeris, suaranya bergetar, menahan kegelisahan. Sementara matanya mengawasi setiap gerakan sang bibi.

Bibi Margaret memandang Aeris dengan tatapan dingin dan sinis. "Apa maksudmu? Tentu saja aku harus memeriksa kamarmu," jawabnya. Ia kemudian mulai menggeledah lemari dan laci meja dengan tangan yang kasar dan tidak ragu.

"Bibi! Apa yang sedang Bibi lakukan?!" teriak Aeris, matanya membesar karena terkejut.

"Ah, jangan berlagak suci!" ucap Bibi Margaret dengan nada menuduh. "Kau pasti menyembunyikan harta di rumah ini, kan? Dasar pencuri!"

"Maksud Bibi apa?! Mana mungkin aku mencuri! Ini kan juga rumahku!" jawab Aeris, suaranya bergetar penuh emosi.

"Rumahmu? Hah!" Bibi Margaret tertawa sinis. "Kau sudah lupa ya? Ibumu sudah tidak ada, jadi artinya kau bukan anggota keluarga ini lagi!"

Kata-kata itu seperti pisau yang tajam menusuk hati. Aeris terdiam, tidak mampu menjawab. Padahal aku sudah pernah mengalami ini, tapi setiap kali dia membicarakan tentang itu, aku selalu tidak bisa berkutik.

"Minggir sana!" Bentak Bibi Margaret, tanpa ampun. Ia mendorong tubuh Aeris hingga gadis kecil itu terjatuh ke lantai. Kemudian, dia kembali menggeledah setiap laci dan sudut kamar dengan kasar.

Ketika Bibi Margaret menemukan sesuatu di dalam laci, dia mengangkat benda itu dengan mata berbinar penuh kemenangan. "Apa ini?" ucapnya dengan nada penuh curiga.

Aeris menatap bingung saat Bibi Margaret mengangkat sebuah kalung berlian. "Kalung berlian ini pasti barang curianmu, kan?" tuduhnya dengan sinis.

"Bukan! Itu punyaku!"

"Mana mungkin bocah sepertimu punya barang berharga seperti ini!"

"Itu hadiah dari ibuku! Dia ingin aku memakainya saat aku besar nanti," ucap Aeris dengan mata penuh air mata.

"Jangan bohong!" Bibi Margaret menyergah.

"Aku tidak bohong, Bibi! Tolong kembalikan!"

"Kau bilang ini dari ibumu kan? Apa kau tahu ibumu mendapatkan uang dari siapa? Dari John, jadi ini bukan milikmu."

"Apa?! Tapi itu sudah jadi milikku! Bibi, kembalikan!" Aeris berteriak dengan suara yang penuh keputusasaan, namun kata-katanya hanya membuat amarah Bibi Margaret semakin membara.

PLAKK!

Satu tamparan keras menghantam pipi mulus Aeris, membuatnya jatuh kembali ke lantai dengan suara yang menggema di seluruh ruangan. Pipinya terasa terbakar, nyeri yang menyakitkan menyebar dari titik tamparan itu.

"Berani-beraninya kau berteriak padaku!" bentaknya dengan suara yang menggema.

Aeris meringis kesakitan, air mata mengalir deras di pipinya yang memerah. "Bibi, aku mohon... itu satu-satunya peninggalan ibu untukku."

Dengan wajah yang penuh kebencian, Bibi Margaret menepis tangan kecil Aeris yang berusaha meraih kalung itu. "Singkirkan tangan kotormu dariku!" bentaknya, lalu berbalik dan mulai meninggalkan ruangan dengan langkah yang cepat.

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang