Malam itu, di tengah lapangan yang luas dan gelap, api unggun besar menyala dengan nyala api yang menjilat-jilat ke langit. Cahaya dari api tersebut menerangi wajah-wajah para siswa yang duduk melingkar, menyatukan mereka dalam kehangatan yang melawan dinginnya malam. Gemuruh tawa dan riuh rendah obrolan memenuhi udara, menciptakan suasana penuh keceriaan dan kegembiraan. Masing-masing kelas telah mengutus perwakilan mereka untuk unjuk bakat, menampilkan beragam hiburan yang membuat suasana semakin hidup.
"Hebat sekali tarian mereka!" Julian berteriak kagum sambil bertepuk tangan dengan antusias setelah melihat penampilan dari salah satu kelas.
Theo mengangguk setuju, "Iya, aku tidak menyangka mereka bisa menari sekeren itu! Kelasmu akan menampilkan apa, El?" tanyanya pada Rafael yang duduk di samping.
Rafael tak menjawab, hanya tersenyum samar. Pandangannya terus menyapu seluruh lapangan, seolah mencari sesuatu yang hilang. Julian yang peka langsung menyadari ada yang tidak beres. "Kamu sedang mencari siapa, El?" tanyanya dengan nada penasaran.
"Sejak tadi aku tidak melihat Aeris," jawab Rafael dengan nada yang mulai terasa cemas.
Julian dan Theo saling bertukar pandang, kemudian mereka berdua ikut mencari sosok Aeris di antara kerumunan. "Mungkin dia bersama teman-temannya, kan?" ucap Theo berusaha bersikap positif. Namun, matanya tetap sibuk mencari-cari, mencoba meyakinkan diri bahwa Aeris baik-baik saja.
Keramaian di lapangan terus berlanjut, namun kegelisahan mulai merambat di antara ketiganya. Lelucon yang biasanya akan membuat mereka tertawa sekarang tidak terdengar begitu lucu. Waktu terus berjalan, tetapi bayang-bayang Aeris tetap tak terlihat.
Tiba-tiba, langit yang sejak tadi mendung menumpahkan seluruh isinya. Hujan deras turun tanpa aba-aba, mengguyur semua yang ada di bawahnya. Para siswa berteriak kaget dan mulai berlarian mencari tempat berteduh. Api unggun yang sebelumnya menyala terang kini meredup, hampir padam di bawah derasnya air hujan.
"Rafael! Theo! Ayo, kita harus cari tempat berteduh!" Julian berteriak panik, berusaha mengalahkan deru hujan.
Namun, Rafael tetap berdiri di tempatnya, matanya terus mencari. "Kita harus temukan Aeris dulu!" suaranya nyaris tenggelam oleh hujan, tapi tekadnya tak tergoyahkan. Theo mengangguk cepat, setuju tanpa ragu. Ketiganya berlari, bukan untuk mencari tempat berlindung, melainkan untuk mencari Aeris di tengah kepanikan dan kekacauan.
Mereka mencari di setiap sudut, di setiap kelompok siswa yang berteduh di bawah pohon atau atap terdekat, tapi Aeris tetap tak ditemukan. Kekhawatiran mereka semakin memuncak, namun hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda.
Ketika panitia dan para guru memutuskan untuk menyudahi acara malam, menginstruksikan para siswa untuk kembali ke kamar masing-masing, Rafael, Theo, dan Julian kembali ke kamar mereka dengan hati yang masih diliputi kecemasan.
"Nomornya tidak aktif..." ucap Theo frustasi, menatap ponselnya dengan wajah gelisah.
Julian menggerutu, "Haruskah kita coba cari ke kamarnya?"
"Tapi kita dilarang pergi ke penginapan wanita," balas Rafael, suaranya tak kalah khawatir.
Ketiganya duduk diam, pikiran mereka berputar-putar mencari solusi, namun tak ada jawaban yang memuaskan. Rasa gelisah semakin menguasai mereka, membuat suasana di kamar itu semakin tegang.
Tiba-tiba, ketukan terdengar di pintu kamar. Mereka saling berpandangan sejenak sebelum Rafael yang pertama kali berdiri dan membuka pintu. Di sana berdiri Pak Anderson, wali kelas Rafael dan Aeris. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak cemas.
"Ada apa, Pak?" tanya Rafael, suaranya penuh kekhawatiran.
Pak Anderson menarik napas dalam sebelum berkata, "Aeris menghilang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir yang Berulang [END]
FantasyAeris adalah seorang gadis muda yang selalu merasakan tekanan dan ketidakadilan dari kedua kakak tirinya, Alex dan Theo. Sejak kecil, hidupnya penuh dengan penderitaan dan ketidakbahagiaan. Kebencian Aeris terhadap mereka tumbuh seiring berjalannya...