CHAPTER 14

87 10 2
                                    

Sejak kematian Ibu, bayangan kesedihan menyelimuti hidup kami. Ayah yang dulu penuh canda tawa, berubah menjadi sosok yang dingin dan suram. Semakin hari ia terasa jauh, seolah ada tembok tebal yang memisahkan kami. Setiap hari, ia menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, seolah-olah berusaha melarikan diri dari kenangan tentang Ibu. Dia tidak lagi memperhatikan kami, aku dan Theo, anak-anaknya sendiri. Kami menjadi bayang-bayang yang terabaikan dalam kehidupannya yang suram dan tanpa semangat.

Namun, semua itu mulai berubah ketika Ayah memutuskan untuk menikah lagi dengan Ibu Aeris. Aku dan Theo setuju dengan keputusan itu, karena sejak kehadiran Ibu Aeris, Ayah mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang kembali. Dia menjadi sedikit lebih ceria, meskipun masih ada bayangan kesedihan di matanya. Mereka menikah, dan kami memiliki adik tiri yang usianya sama dengan Theo, yaitu Aeris.

Aeris, sejak awal dia adalah anak yang pendiam. Dia jarang berbicara, selalu menyendiri di sudut rumah. Tapi aku tidak mempermasalahkan hal itu, karena yang penting sekarang Ayah sudah tidak terlihat sedih lagi. Namun, semakin hari, sikap Ayah pada Aeris semakin berlebihan. Ayah memperlakukan Aeris dengan istimewa, padahal dia bukan putri kandungnya. Hal ini membuatku merasa tidak adil. Selama ini, aku berusaha memahami Ayah yang terpuruk karena kepergian Ibu. Tapi Aeris yang baru saja datang ke rumah ini, langsung merebut semua perhatian dan kasih sayang Ayah yang selama ini aku dan Theo rindukan.

Sepertinya Theo juga merasakan hal yang sama sepertiku. Dia mulai menunjukkan ketidaksukaannya pada Aeris dengan cara-cara kekanakan. Namun, aku sengaja menutup mata terhadap semua hal yang dilakukan Theo padanya, berpikir bahwa mungkin ini hanya fase yang akan berlalu. Tapi hari itu, Theo sudah benar-benar melewati batas.

Melihat Aeris yang meronta-ronta berusaha keluar dari tengah danau membuatku kehilangan akal. Tanpa pikir panjang, aku melompat ke danau itu untuk menyelamatkannya.

"Aeris! Buka matamu!" teriakku panik, berharap suaraku bisa menjangkau kesadarannya.

Aku tidak mengharapkan ini sama sekali. Aku berusaha keras mengangkat tubuhnya yang basah dan dingin ke tepian.

"Theo! Apa yang sudah kamu lakukan?!" teriakku marah.

Theo hanya berdiri dengan wajah pucat, air mata mulai menggenang di matanya. "Maaf, Kak..." jawab Theo dengan suara bergetar, namun aku tak bisa memikirkan itu sekarang.

"Aeris! Sadarlah! Aeris, bangun!" Aku mengguncang tubuhnya yang lemah, mencoba memanggilnya kembali ke dunia nyata.

Perlahan, mata Aeris terbuka. "Kak Alex? Kenapa Kakak jadi lebih muda?"

"Kamu bicara apa?!"

Apa dia memang anak yang secerewet ini?

Sejak hari itu, Aeris jadi semakin aneh. Dia sering berbicara hal-hal yang tidak masuk akal, seolah-olah hidup di dunia yang berbeda. Kejadian itu meninggalkan bekas yang dalam, bukan hanya pada Aeris, tapi juga pada diriku dan Theo.

 Kejadian itu meninggalkan bekas yang dalam, bukan hanya pada Aeris, tapi juga pada diriku dan Theo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang