CHAPTER 24

60 6 0
                                    

Di ruang kerja yang sunyi, Alex duduk di meja kayu berukir yang dipenuhi oleh kertas-kertas dan tumpukan buku. Namun, perhatiannya tidak tertuju pada dokumen-dokumen itu, melainkan pada deretan obat-obatan yang tersebar di hadapannya, berwarna-warni dalam berbagai bentuk. setiap pil merupakan pengingat akan kondisi kesehatannya yang rapuh. Ia sedikit meringis, menyadari bahwa semua pil ini harus ia konsumsi setiap hari, seakan menjadi rantai yang membelenggunya.

Dalam keheningan yang melingkupi ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara ceria dari luar. "Kakak...! Kakak di mana? Apa kakak sudah pulang?" Suara Aeris semakin mendekat, menggema di koridor yang sepi.

Alex, dengan gerakan cepat, menyembunyikan obat-obat itu ke dalam laci mejanya, mencoba menyembunyikan kenyataan pahit tentang kesehatannya dari sang adik.

Pintu terbuka dengan suara lembut, dan Aeris muncul di ambang pintu, wajahnya cerah meski sedikit penasaran. "Oh, kakak di sini," ucapnya saat melihat Alex. "Apa kakak sibuk?" tanyanya, matanya memindai ruangan.

Alex tersenyum hangat, meski di balik senyum itu tersimpan kelelahan yang mendalam. Ia menggeleng pelan. "Tidak, ada apa?"

Aeris segera menghampiri sang kakak, duduk di kursi di sebelah meja kerja. "Kak! Apa kakak tahu? Theo memutuskan keluar dari tim basketnya!!" katanya dengan nada penuh kekhawatiran.

Alex terdiam sejenak, kata-kata Aeris menggema dalam pikirannya. Ia kemudian mengangguk pelan, seolah-olah telah memperkirakan hal ini. "Oh... ternyata begitu," ucapnya tenang, tanpa menunjukkan keterkejutan.

Aeris terlihat terkejut oleh reaksi kakaknya yang begitu tenang. "Kenapa reaksi kakak begitu tenang? Bukankah kakak tahu selama ini Theo ingin menjadi atlet internasional? Kalau begini, bisa-bisa impiannya hancur!"

Alex menatap adiknya dengan pandangan yang penuh pengertian. "Apa dia mengatakan alasannya keluar dari tim?" tanyanya dengan suara lembut namun tegas.

Aeris menggeleng, wajahnya menunjukkan kebingungan yang mendalam.

"Kalau begitu dia pasti punya alasan," lanjut Alex, suaranya masih tenang. "Dia sudah cukup dewasa untuk memahami hal itu. Kakak yakin dia punya pertimbangan sendiri."

"Tapi—!" Aeris hendak membantah, namun suaranya terhenti oleh tatapan penuh keyakinan dari Alex.

"Percayalah, Aeris," kata Alex, nada suaranya penuh kepastian, seolah-olah ia tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh Aeris.

Aeris menghela napas panjang, merasakan kebimbangan yang masih menggantung di hatinya.

"Kakak akan berbicara padanya nanti saat dia pulang," tambah Alex, mencoba menenangkan adiknya.

Aeris mengangguk lemah, lalu pamit pada sang kakak untuk kembali ke kamarnya. Saat ia melangkah pergi, ada keraguan yang tertinggal di hatinya.

"Apa yang mereka sembunyikan dariku?" gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

"Apa yang mereka sembunyikan dariku?" gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang