CHAPTER 19

89 9 0
                                    

Di pagi yang cerah, Aeris sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Sinar matahari yang lembut menyelinap masuk melalui celah jendela, memberikan kehangatan pada kamar yang tenang itu. Ia sudah mengenakan seragamnya dan sedang menata rambutnya dengan rapi di depan cermin. Namun, suasana pagi yang hening tiba-tiba dipecahkan oleh suara dentuman pintu yang dibuka kasar dari luar kamar.

Aeris bergumam bingung, "Apa yang mereka lakukan?"

Di koridor kamar, Alex dan Theo berdiri di depan pintu kamar masing-masing, saling menatap dengan wajah serius yang penuh dengan kegelisahan. Napas mereka terengah-engah, seperti baru saja lari dari mimpi buruk yang mencekam.

"Kita... berhasil!" ucap mereka bersamaan, mata mereka bersinar dengan campuran kelegaan dan keputusasaan. Sesaat setelah itu, mereka berlari menuju kamar Aeris, membuka pintu tanpa izin.

"Aeris!!" seru mereka saat masuk ke kamar itu.

"He-Hei!! Apa yang kalian lakukan! Masuk ke kamar seorang gadis tanpa mengetuk?!!" ucap Aeris marah. Namun, wajah marahnya perlahan berubah menjadi kebingungan ketika melihat kedua kakaknya memasang wajah penuh kekhawatiran, seolah-olah dunia mereka hampir runtuh.

"Apa yang—"

Aeris belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Alex dan Theo berhamburan ke arahnya, memeluknya dari kedua sisi. Theo memeluk pinggangnya dari sisi kiri, sementara Alex memeluk bahunya dari sisi kanan. Kedua pria itu kemudian menempelkan kepala mereka ke kepala Aeris, seakan mencari ketenangan dalam kehadirannya.

"Apa-apaan ini?! Apa yang kalian lakukan di pagi hari buta seperti ini?!" ucap Aeris kesal, tapi nada suaranya mulai melembut, tertelan oleh kehangatan yang tak terduga dari pelukan mereka.

Alex dan Theo tampak tidak memedulikan perkataan gadis itu, mata mereka terpejam seolah menikmati momen ini.

"Syukurlah... syukurlah kamu baik-baik saja," ucap Alex dengan suara lirih.

"Aeris, jangan tinggalkan aku..." sambung Theo sambil mengeratkan pelukannya.

"Apa yang terjadi? Apa ada tren seperti ini di kalangan pria dewasa baru-baru ini? Kenapa kalian bersikap seolah-olah baru bertemu denganku setelah sekian lama? Padahal kita-"

Aeris tiba-tiba menghentikan kalimatnya, menyadari sesuatu.

"Kalian... apa kalian bermimpi buruk?"

Tak ada jawaban dari kedua kakaknya, mereka masih memeluk gadis itu dengan erat seolah melepas rindu yang telah lama terpendam.

"L-lepaskan ini dulu... kalian membuatku kesulitan bernapas...!"

Berkat kalimat itu, Alex dan Theo segera melonggarkan pelukan mereka, membiarkan Aeris bernapas lega.

Aeris menoleh ke arah kakak tertuanya, menatap wajahnya yang penuh kesedihan. Ia menangkup kedua pipi pria itu yang basah oleh air mata.

Dalam hati, Aeris berkata, Kakak yang bahkan tidak menangis saat pemakaman ayah dan ibu, sekarang menangis di hadapanku.

"Kakak, apa yang terjadi?"

Sebelum Alex sempat menjawab, Theo tiba-tiba kembali mengeratkan pelukannya di pinggang Aeris, kemudian membenamkan wajahnya di bahu gadis itu.

"Aeris, aku minta maaf. Aku akan berbuat lebih baik padamu. Jadi jangan pergi, jangan tinggalkan rumah ini lagi."

Aeris terdiam, berusaha mencerna situasi yang membingungkan ini. Kata-kata dan sikap yang ditunjukkan oleh kedua kakaknya hanya membawanya ke satu kesimpulan.

"Mungkinkan... kalian juga kembali ke masa lalu?"

Satu kalimat itu membuat Alex dan Theo seketika terdiam, lalu menatap gadis itu dengan mata membelalak.

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang