CHAPTER 28

43 5 0
                                    

Tangis Aeris pecah dalam keheningan, air matanya mengalir deras saat kebenaran yang menghancurkan hatinya terungkap. Setiap tetesan air mata menyiratkan rasa sakit yang mendalam, menjawab pertanyaan yang selama ini menggelayuti pikirannya.

Kembali ke masa lalu, ternyata semuanya berawal dari pengorbanan Alex, dan kini pria itu sedang membayar harga dengan nyawanya.

Aeris bergerak turun dari tempatnya, mendekati Theo yang sedang berlutut dengan tubuhnya yang lelah dan bergetar. Tanpa berkata-kata, Aeris memeluk Theo, dan dalam pelukan itu, mereka saling berbagi tangisan pilu yang mendalam, seolah dunia di sekitar mereka lenyap dalam derai air mata dan kesedihan.

"Theo... aku mengambil nyawa kakak..." ucap Aeris dengan suara lirih, penuh penyesalan.

Theo menggeleng tegas, berusaha menghapus air mata di pipi Aeris dengan lembut, "Tidak, kakak tidak ingin kamu berpikir seperti itu. Kamu sama sekali tidak mengambil nyawanya. Ini adalah pilihannya."

"Tapi... karena aku...!" suara Aeris bergetar, terasa berat untuk diucapkan.

Theo segera merengkuh tubuh yang rapuh itu lagi dengan penuh kasih, "Tidak, jangan berkata begitu..." ucapnya dengan penuh kesedihan, mencoba menghibur gadis yang kini tampak begitu hancur.

"Sebenarnya... kakak ingin menyembunyikan hal ini darimu. Tapi aku tidak ingin kamu tahu saat sudah terlambat. Aku tidak ingin kamu menyesal karena tidak sempat menghabiskan waktu berharga bersama kakak," ucap Theo dalam isak tangisnya.

Dalam tangisnya, Aeris teringat kembali pada sikap hangat Alex yang belakangan ini sering membuat pikirannya terusik. Selama ini, ia merasa aneh dengan perubahan sikap kakaknya yang tiba-tiba menjadi lembut dan penuh perhatian. Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa itu adalah perpisahan yang mendekat.

"Aku ingin menghabiskan waktu berharga bersama adikku."

Kalimat itu menggema dalam pikirannya, mengingat kata-kata Alex yang sering kali terdengar seperti gurauan, namun kini menjadi sebuah kenyataan yang membuatnya hancur.

Rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya, menyadari betapa sering ia meremehkan ucapan kakaknya yang penuh cinta.

Tiba-tiba, Aeris bangkit dengan semangat yang menggebu, matanya penuh tekad. "Ritual! Ayo kita lakukan ritual itu! Ayo cari wanita tua yang kalian temui itu! Aku akan minta padanya untuk menyelamatkan kakak!" serunya penuh harapan.

Saat Aeris berbalik dan mulai melangkah pergi, Theo menahan tangannya. "Tidak," ucapnya tegas, menahan langkah adiknya.

Aeris berbalik dengan tatapan marah, "Kenapa?! Apa kamu hanya akan diam saja meskipun tahu kakak akan mati?!" Suaranya penuh dengan kemarahan dan keputusasaan.

Wajah Theo menggelap, seolah berperang dengan perasaannya sendiri. Perlahan, ia mengangkat wajahnya, menatap Aeris dengan tatapan yang penuh arti. "Karena inilah kakak tidak ingin memberitahumu, dia tahu kamu akan bersikap begini."

Aeris terdiam, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Dengan suara lirih, ia bertanya, "Lalu aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?"

Tangisan Aeris kembali pecah, tak tertahan. Theo yang tak mampu menahan kesedihan, ikut menangis dalam diam. Ia menarik adiknya ke dalam pelukannya, berusaha menenangkan Aeris meskipun ia sendiri tenggelam dalam kesedihan yang mendalam.

Aeris menangis hingga kelelahan, akhirnya tertidur dalam pelukan Theo. Dengan lembut, Theo menggendong adiknya dan membaringkannya di tempat tidur. Ia menatap wajah Aeris yang tertidur pulas dengan rasa iba dan kasih sayang. Sambil mengusap kepala Aeris dengan lembut, ia berbisik, "Adikku yang malang."

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang