Sepulang Sekolah...
Matahari sudah mulai condong ke barat, memancarkan sinar oranye lembut yang menerangi mall terbesar di kota. Suasana di dalam mall begitu ramai dan penuh warna, kontras dengan ekspresi lelah di wajah Theo dan Julian. Rafael yang ada di samping mereka tertawa melihat ekspresi kedua temannya itu. Mereka bertiga mengikuti Aeris yang tampak penuh semangat, masing-masing membawa beberapa tas belanjaan yang cukup berat.
"Hmm... sepertinya ada yang menarik di sana," ucap Aeris sambil menunjuk toko aksesoris yang bersinar dengan beragam warna cerah.
"Aeris... Kamu serius masih mau belanja lagi? Barang belanjaanmu sudah sebanyak ini, loh!" keluh Julian, suaranya penuh keputusasaan.
"Hei, bukankah tujuanmu tadi hanya ingin membeli kebutuhan selama karya wisata?" Theo ikut menambahkan dengan wajah frustasi.
"Ugh! Kalian berisik sekali. Sudah, jangan banyak bicara dan ikuti saja aku!" Aeris mengomel dengan ekspresi marah.
Theo dan Julian menghela napas berat, menuruti perintah Aeris dengan langkah malas. Di sisi lain, Rafael, yang tampak tetap segar, terlihat tidak terlalu terbebani meskipun memikul banyak barang belanjaan. Wajahnya tetap ceria, dan ia tidak tampak merasakan beban yang sama seperti yang dirasakan Theo dan Julian.
"El, kenapa kamu tidak terlihat lelah sama sekali?" tanya Julian penasaran, melihat temannya yang tampak santai.
"Iya, beritahu kami rahasianya!" tambah Theo.
Rafael memiringkan kepalanya, menatap bingung. "Aku tidak merasa lelah karena... aku menikmati ini."
"Hah?!"
"Setiap kali melihat Aeris tersenyum, rasa lelahku secara ajaib menghilang."
Theo dan Julian menatap Rafael dengan ekspresi syok, mulut mereka sedikit terbuka. "D-dia benar-benar sudah tidak waras. Apa cinta bisa membuat orang menjadi gila?" tanya Julian sambil mengerutkan dahi.
Theo mendekati Rafael, kemudian menepuk bahunya dengan serius. "El, meskipun Aeris itu adikku. Tapi aku merasa tidak bisa memberikan dia padamu," ucapnya dengan nada serius.
"Kenapa?!" tanya Rafael, kaget dengan pernyataan Theo.
"Kamu terlalu baik untuk dia," jawab Theo, matanya penuh keyakinan.
Rafael tersenyum lega, lalu menggeleng pelan. "Tidak. Dialah yang terlalu baik untukku. Bukankah dia terlalu sempurna?" ucap Rafael, matanya berbinar-binar menatap sosok Aeris yang sedang asik memilih aksesoris di dalam toko.
"T-Theo... sepertinya cinta juga bisa membuat orang menjadi buta," ucap Julian terbata.
"Kamu benar, Julian," jawab Theo, mengangguk pelan. Matanya penuh keprihatinan.
Tak lama kemudian, Aeris keluar dari toko aksesoris dengan senyum cerah yang tak tertandingi. Senyuman itu memancar seperti cahaya matahari, menerangi wajah Rafael, sementara Julian dan Theo tampak tertekan, berusaha keras untuk tidak melakukan kesalahan kecil yang bisa membuat gadis itu mengomel sepanjang hari.
"Aku membeli sesuatu untuk kalian. Ini sebagai reward untuk hari ini," ucap Aeris sambil membagikan gantungan kunci pada mereka masing-masing, penuh rasa bangga.
"A-Aeris, kami laki-laki... mana mungkin—" Julian mencoba protes, namun Aeris segera memotongnya.
"Aku sengaja memilih yang netral agar bisa kalian pakai," ucap Aeris, menatap Julian dan Theo dengan tatapan tajam.
Rafael menatap gantungan kunci itu dengan mata berbinar. Gantungan kunci itu berdesain minimalis namun memancarkan aura keanggunan yang khas. Gantungan kunci tersebut terbuat dari logam perak yang halus, dengan bentuk dasar berbentuk lingkaran kecil yang di tengahnya tersemat batu kristal biru transparan. Batu kristal itu memancarkan cahaya lembut yang memikat, memberikan efek berkilauan ketika terkena cahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir yang Berulang [END]
FantasyAeris adalah seorang gadis muda yang selalu merasakan tekanan dan ketidakadilan dari kedua kakak tirinya, Alex dan Theo. Sejak kecil, hidupnya penuh dengan penderitaan dan ketidakbahagiaan. Kebencian Aeris terhadap mereka tumbuh seiring berjalannya...