CHAPTER 4

149 12 5
                                    

Sudah tiga hari berlalu. Saat ini, Aeris sedang berada di kamarnya, duduk di pinggir ranjang, memperhatikan setiap sudut ruangannya yang penuh kenangan. Dekorasi indah yang imut dan lucu, disesuaikan untuk anak kecil, mengingatkan Aeris pada kamarnya dulu. Ya, ini adalah kamar yang ia gunakan saat masih kecil.

Aeris berkata pada dirinya sendiri, "Ini aneh... sudah tiga hari berlalu tapi aku masih belum bangun dari mimpi ini." Gadis itu menatap kedua tangannya lalu kembali bergumam, "Tapi... semua ini terlalu nyata untuk disebut mimpi."

Dia turun dari ranjang, langkahnya perlahan menuju cermin besar yang seukuran tubuhnya. Ia mendekat, lalu menyentuh layar cermin itu, menatap bayangannya dari dekat. Dia bergumam, "Seperti Kak Alex dan Theo, tubuhku juga jadi kecil. Ibu dan Paman yang sudah meninggal sembilan tahun yang lalu, tiba-tiba hidup kembali."

Aeris kembali menatap bayangannya di cermin, matanya yang hijau cerah penuh keraguan dan kebingungan. Kemudian, ia berkata dengan suara yang nyaris berbisik, "Sepertinya... aku benar-benar kembali ke masa kecilku..."

Langkah kaki yang lembut terdengar mendekat dari luar kamar. Pintu terbuka perlahan dan Grace, dengan senyum lembutnya, masuk membawa segelas susu hangat. "Aeris, sayang, apa yang kamu lakukan berdiri di depan cermin?"

Aeris terkejut, tetapi senyum ibunya menenangkan perasaannya yang kacau. "Ibu... aku hanya— bukan apa-apa."

Grace mendekat, menyodorkan gelas susu kepada Aeris. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik."

Aeris mengambil gelas itu, merasakan hangatnya di tangannya yang kecil. "Terima kasih, Ibu," ucapnya pelan.
Grace duduk di tepi ranjang, menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. "Kamu tampak khawatir, Aeris. Apa ada yang ingin kamu ceritakan pada Ibu?"

Aeris ragu sejenak, lalu berkata, "Ibu... apa semua ini mimpi?"

Grace mengelus rambut Aeris dengan lembut. "Sepertinya Aeris-ku masih demam. Apa kamu bermimpi buruk semalam?"

Aeris menatap ibunya, merasa kehangatan dan kenyamanan yang sudah lama hilang. "Ibu... aku takut."

Grace menarik Aeris ke dalam pelukannya. "Tidak perlu takut, Sayang. Ibu ada di sini untukmu."

Mendengar kata-kata itu, air mata mulai mengalir di pipi Aeris. Ia memeluk ibunya dengan erat, merasakan betapa berharganya momen ini. "Aku rindu Ibu," bisiknya.

Aeris duduk termenung di kamarnya, mencoba menggali kembali ingatannya jauh ke masa lalu, tepatnya ke kejadian yang terjadi sebelum jiwanya dari masa depan datang ke sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aeris duduk termenung di kamarnya, mencoba menggali kembali ingatannya jauh ke masa lalu, tepatnya ke kejadian yang terjadi sebelum jiwanya dari masa depan datang ke sini. Ia menarik napas panjang, membiarkan pikirannya melayang kembali ke hari yang suram itu.

Saat itu, Theo dan Aeris sedang bermain lempar tangkap bola di tepi danau. Tawa riang mereka mengisi udara, bergema di antara pepohonan yang rindang. Namun, suasana berubah saat Theo melempar bola terlalu kuat. Aeris, dengan mata yang lebar, mencoba menangkapnya, tapi bola itu meleset dari tangannya dan jatuh ke dalam danau.

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang