Cahaya sore merayap lembut ke ruang kerja Alex. Lampu di ruangan itu memancarkan cahaya redup, menyoroti meja kerja yang tertata rapi dengan dokumen-dokumen penting dan beberapa foto keluarga dalam bingkai elegan. Sebuah jendela besar di sisi kanan ruangan memancarkan cahaya emas dari matahari yang tenggelam, memberikan suasana yang seakan-akan memudarkan batas antara kehangatan dan ketegangan.
Udara di dalam ruangan terasa berat, seperti memendam banyak emosi yang tidak terucapkan. Ruangan itu yang biasanya dipenuhi oleh suara ketikan keyboard dan bunyi telepon yang berdenting, kini sepi dan penuh dengan ketegangan.
Alex, dengan postur tegap dan wajah yang kini mengerutkan dahi, berdiri di belakang meja kerjanya yang kokoh.
"Theo... Aeris..."
Ketika ia memanggil nama kedua adiknya itu, suaranya terdengar begitu berat dan menakutkan, menggema dalam kesunyian sore yang menenangkan.
Keduanya tidak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya menundukkan kepala lebih dalam seakan ingin menembus lantai. Rasa takut dan penyesalan tampak jelas di wajah mereka. Alex, berdiri tegak dengan tangan ditekuk di depan dada, menatap mereka dengan tatapan yang tidak bisa dibaca, tetapi jelas mengandung kemarahan dan kekecewaan.
"Apakah kalian ingin membuat rekor dipanggil ke BK?" suara Alex merendah, hampir seperti bisikan. Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti hukuman yang menimpa Aeris dan Theo dengan berat.
Aeris menggeleng keras, wajahnya menunduk dengan penuh rasa takut.
"Tidak, Kak! Maaf, ini akan jadi yang terakhir," ucap Theo dengan suara yang hampir tidak terdengar, namun penuh penyesalan.
"Benar, Kak! Kami berjanji!" Aeris memandang Theo dengan penuh harap, yang segera mengangguk cepat, mengiyakan janji mereka.
Alex menghela napas berat. "Kenapa semakin kalian dewasa, semakin sulit diatur?" ucapnya frustasi.
Aeris menggigit bibirnya, merasa seluruh tubuhnya bergetar. "Maaf...," bisiknya dengan lembut, suaranya hampir menyatu dengan hembusan angin sore.
Alex menggelengkan kepalanya dengan lelah kemudian mengambil keputusan yang tidak bisa diubah. "Uang jajan kalian akan aku potong selama seminggu." Kata-katanya tegas, bagaikan hukuman yang dijatuhkan dari pengadilan.
"Apa?! TIDAAAAK!!!"
Di sebuah kamar yang tenang, suara alarm ponsel berbunyi nyaring, memecah keheningan pagi. Aeris, masih tenggelam dalam selimut hangat, tersentak bangun dan memandang layar ponselnya dengan tatapan muram. Tanggal 14 Februari.
"Hari sialan itu datang lagi," desahnya dengan nada penuh kemarahan, merasa tak berdaya di hadapan rutinitas yang mengganggu.
Tiba-tiba, suara gedoran pintu kamar memecah kesunyian. "Hei, gendut! Kamu sudah siap?" teriak Theo dari luar.
Aeris hanya menggulingkan tubuhnya dan berpura-pura tidur, berusaha menenggelamkan suara Theo di dalam hatinya. "Hei, gendut! Jangan bilang kamu masih tidur?" Teo terdengar semakin frustasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir yang Berulang [END]
FantasyAeris adalah seorang gadis muda yang selalu merasakan tekanan dan ketidakadilan dari kedua kakak tirinya, Alex dan Theo. Sejak kecil, hidupnya penuh dengan penderitaan dan ketidakbahagiaan. Kebencian Aeris terhadap mereka tumbuh seiring berjalannya...