CHAPTER 16

88 11 2
                                    

Di depan ruangan milik Alex, Aeris yang sedang berjalan melewati ruangan itu tak sengaja melihat lampu di dalam masih menyala. Hatinya sedikit khawatir. "Padahal sudah jam segini, tapi lampunya masih menyala. Apa Kakak masih belum tidur?" gumamnya. Dengan langkah perlahan, ia mendekati pintu dan mengetuknya pelan.

"Kakak?" panggilnya lembut. Namun, tak ada jawaban dari dalam. Aeris ragu sejenak sebelum memutuskan untuk membuka pintu tersebut. Ia melihat Alex duduk diam di sofa dengan tatapan kosong, tenggelam dalam pikirannya.

"Kakak?" panggil Aeris lagi, suaranya kali ini lebih keras. Alex terkejut, menyadari kehadiran adiknya.

"Aeris, apa yang kamu lakukan di sini? Sudah jam segini, seharusnya kamu sudah tidur," ucapnya dengan nada khawatir.

"Kenapa Kakak belum tidur?" tanya Aeris, alisnya mengernyit.

"Orang dewasa boleh tidur larut malam."

"Tapi Kakak kan belum dewasa. Kakak masih sekolah," balas Aeris.

Alex terdiam, wajahnya berubah murung. "Haaah..." ia tiba-tiba menghela napas panjang. "Kemarilah," ucapnya sambil menepuk sofa di sampingnya.

Aeris mendekat dan duduk di samping Alex.

"Aeris, apa aku bisa menjadi kepala keluarga yang baik?" tanya Alex dengan suara penuh keraguan. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan.

Aeris terdiam sejenak, merenung. Ah... dia pasti sangat kesulitan karena situasi keluarga ini. Saat ini dia hanyalah anak remaja usia 16 tahun.

"Apa Kakak sakit?"

Alex terdiam dengan wajah bingung sebelum akhirnya menggeleng.

"Kalau begitu, tentu saja Kakak bisa menjadi kepala keluarga yang baik," jawab Aeris dengan penuh keyakinan.

Alex tersenyum, meski senyumnya tidak sepenuhnya menutupi rasa khawatirnya. Aeris melirik ke arah bingkai foto yang terbalik di atas meja, lalu mengambilnya. Ternyata, itu adalah potret ayah mereka, John.

"Kakak merindukan Ayah?" tanya Aeris.

Alex mengangguk pelan. "Aeris, aku takut. Aku tidak bisa menjaga kalian dengan baik, aku tidak bisa menjaga kalian seperti Ayah," ucapnya dengan suara bergetar.

"Apa yang Kakak katakan? Kakak kan sudah merawat kami dengan baik selama ini," ujar Aeris, lalu memeluk sang kakak dari samping. "Kakak boleh menangis, karena kita masih kecil," ucapnya lembut.

"Apa yang kamu bicarakan?" tanya Alex, bingung oleh sikap Aeris.

"Tidak apa-apa..." jawab Aeris sambil menepuk-nepuk punggung kakaknya.

Alex membalas pelukan Aeris. Ia memejamkan matanya, dan perlahan-lahan air mata menetes dari kedua matanya. Bahunya bergetar karena menangis tanpa suara.

"Kakak sangat kuat. Kakak adalah kakak terbaik yang ada di dunia."

"Tidak, aku adalah kakak yang paling buruk. Aku bahkan hampir menelantarkanmu. Aku benar-benar kakak yang buruk," ucap Alex dengan suara gemetar.

"Kakak... semuanya pasti akan baik-baik saja," ujar Aeris, mencoba menenangkan kakaknya. Dalam hatinya, ia merasa bersalah. Padahal dia sangat rapuh seperti ini, bagaimana bisa dulu aku membenci sosoknya yang seperti ini? batin Aeris.

Aeris tersadar bahwa selama ini ia hanya fokus pada dirinya sendiri tanpa mencoba memahami dari sudut pandang orang lain. Ia kini tersadar bahwa, Alex yang ada di hadapannya saat ini bukanlah Alex yang berusia 26 tahun yang tegas dan dingin, dia hanyalah anak berusia 16 tahun yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua, yang berusaha menanggung semua beban dan tanggung jawab yang terlalu besar bagi anak seumurnya.

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang