Malam merangkak semakin larut, dan keheningan melingkupi rumah sakit yang terasa begitu asing dan dingin. Di antara bayang-bayang dan desah napas lemah pasien, Aeris dengan hati yang dipenuhi kekhawatiran, melangkah pelan menuju ruang rawat Alex. Langkah kakinya nyaris tak terdengar di koridor yang sunyi. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu, dan sejenak ia berhenti, mengumpulkan keberanian untuk masuk.
Ketika pintu berderit pelan, Aeris menahan napas. Ia mengintip dari celah kecil, memastikan Alex masih terlelap. Wajahnya tenang, tanpa beban, seolah semua penderitaan yang ia alami hilang saat matanya tertutup. Hanya saat-saat seperti inilah Aeris bisa mendekati sang kakak, karena ketika Alex sadar, ia selalu mengusir Aeris pergi, dibayang-bayangi oleh ingatan yang kacau dan rasa marah yang tak ia pahami.
Aeris melangkah pelan mendekati ranjang, setiap detiknya terasa seperti waktu yang melambat. Ketika akhirnya ia duduk di samping Alex, tubuhnya bergetar karena rasa takut yang terus membayangi. Tangannya meraih tangan Alex yang dingin dan lemah, dan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, satu per satu jatuh tanpa suara, membasahi tangannya yang masih menggenggam erat tangan sang kakak.
Dengan lembut, Aeris mengusap tangan kakaknya, mencoba menyalurkan sedikit kehangatan dan kekuatan melalui sentuhannya. "Kakak... bertahanlah..." bisiknya lirih, suaranya dipenuhi rasa putus asa yang mendalam.
Ia kemudian menundukkan kepalanya, menyentuhkan keningnya pada punggung tangan Alex, berharap ia bisa merasakan sedikit saja kedamaian yang terpancar dari tidur kakaknya. "Tidak apa-apa jika Kakak tidak mengingat kenangan indah kita, tapi kumohon, tetaplah bertahan..." lanjutnya, suaranya hampir tak terdengar, tenggelam dalam tangis yang tertahan.
Tiba-tiba, Aeris merasakan jari-jari Alex yang mulai bergerak, sebuah sentuhan yang lemah namun cukup untuk membuat jantungnya berdegup kencang. Ia segera melepaskan tangannya dan menatap wajah Alex dengan penuh harap dan ketakutan. Dahi pria itu berkerut, menandakan ketidaknyamanan, lalu perlahan-lahan kedua matanya terbuka. Tatapannya yang kabur segera tertuju pada Aeris saat ia menyadari keberadaan seseorang di sampingnya.
Aeris membelalak kaget, rasa takut yang selama ini menghantui pikirannya kembali muncul. Tanpa berpikir panjang, ia segera bangkit dari kursi dan berbalik, berusaha meninggalkan ruangan sebelum Alex sempat mengatakan sesuatu yang akan menghancurkan hatinya lagi.
Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara serak memanggil namanya. "Aeris..." panggil Alex, suaranya lemah namun penuh kehangatan yang lama tak ia dengar. Tangan Alex yang lemah menggenggam pergelangan tangan Aeris yang mungil, seolah takut kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
"Jangan pergi..." ucap pria itu lagi, suaranya penuh dengan permohonan.
Aeris, dengan bahu yang bergetar dan tangis yang tertahan, akhirnya memberanikan diri untuk membalikkan badan. Pandangan matanya bertemu dengan mata biru Alex yang kini penuh dengan rasa bersalah. Meski terlihat lemah, Alex berusaha keras untuk duduk, ingin memastikan bahwa adik yang sangat ia cintai berada di hadapannya, nyata dan bukan sekadar bayangan dari masa lalu.
"Maafkan aku..." Alex memulai, suaranya bergetar oleh emosi yang tertahan. "Aku dengar dari Theo... Waktu itu aku tidak mengenalimu..."
Aeris tidak membalas, hanya menutup mulutnya dengan punggung tangan untuk menahan isak yang hampir meledak. Air mata yang sejak tadi tertahan kini mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat.
"Maafkan aku..." kata Alex lagi, kali ini suaranya terdengar rapuh, seolah ia takut jika Aeris tak akan pernah memaafkannya. "Aku menyesal..."
"Hu... huwaaa!!!" Tangis Aeris akhirnya pecah, suaranya memecah kesunyian malam itu. Tanpa ragu, ia melemparkan dirinya ke dalam pelukan sang kakak, memeluknya erat-erat seolah takut kehilangan lagi. Dalam pelukan itu, Aeris menumpahkan segala keluh kesah, rasa takut, dan kesedihan yang selama ini ia pendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir yang Berulang [END]
FantasyAeris adalah seorang gadis muda yang selalu merasakan tekanan dan ketidakadilan dari kedua kakak tirinya, Alex dan Theo. Sejak kecil, hidupnya penuh dengan penderitaan dan ketidakbahagiaan. Kebencian Aeris terhadap mereka tumbuh seiring berjalannya...