CHAPTER 20

87 7 0
                                    

Di tengah hiruk-pikuk kantin sekolah yang dipenuhi suara tawa dan percakapan, suasana istirahat pagi itu terasa riuh dan berwarna. Julian, dengan mata yang penuh rasa ingin tahu dan sedikit bingung, menatap Aeris dari jarak yang aman. Ia kemudian mendekati Theo dengan langkah hati-hati dan berbisik, "Hei, Theo. Apa kamu diancam oleh Aeris?"

Aeris yang sedang berdiri dekat mereka, langsung menatap Julian dengan tatapan tajam dan membakar. "Julian, kalau kamu mau berbisik, setidaknya jangan sampai aku mendengar."

Julian, terkejut oleh tatapan Aeris, segera bersembunyi di belakang Theo, berusaha menghindari kemarahan gadis itu. "Hehehe... maaf..." ucapnya sembari menyembunyikan wajahnya di balik bahu Theo.

Theo menoleh dengan penuh kebingungan ke arah Julian yang kini berlindung di belakangnya. "Apa maksudmu? Kenapa aku diancam oleh Aeris?" tanyanya, kebingungan.

"Kalau begitu, kenapa kamu membawakan nampan makanannya sekarang?! Sudah pasti kamu diancam, kan?" Julian berkata dengan penuh keyakinan.

Aeris, yang mulai kesal dengan tuduhan yang tak berdasar, tak bisa menahan amarahnya. "Julian!" bentaknya dengan tegas, membuat beberapa kepala di kantin menoleh ke arahnya.

"L-Lihat! Betapa menyeramkannya dia!" seru Julian, dengan tatapan penuh ketakutan.

Theo, dengan nada santai dan tidak terganggu oleh suasana tegang itu, mengangkat bahunya. "Memangnya salah kalau aku membawakan nampan makanan adikku sendiri? Ini berat, tangannya bisa sakit," ucapnya penuh perhatian. Kemudian, sambil tersenyum lembut, ia bertanya kepada Aeris, "Nah, kamu mau duduk di mana, Aeris?"

Julian dan Aeris seketika terdiam, wajah mereka menunjukkan keterkejutan yang mendalam. Julian, yang tadinya berdiri di belakang Theo, kini berpindah ke belakang Aeris, mencari perlindungan di sisi yang dianggap lebih aman.

"T-Theo...? Apa kamu sakit?" tanyanya dengan wajah pucat dan mata khawatir. "Aeris... apa dia benar-benar Theo? Aku tidak salah dengar kan?"

"Tidak, Julian. Karena aku juga merinding saat ini," jawab Aeris dengan nada tegang, masih tidak percaya dengan perubahan sikap Theo.

Melihat ketegangan yang semakin memuncak, Rafael yang baru saja tiba di tempat itu, berusaha menengahi situasi. "Julian, berhenti menggoda mereka. Ayo kita cari tempat duduk, kantin semakin ramai," ujarnya dengan tenang, berharap bisa meredakan ketegangan di antara ketiga temannya.

Dengan arahan Rafael, mereka semua bergerak menuju meja yang tersisa, meninggalkan jejak kekacauan di belakang mereka.

Dengan arahan Rafael, mereka semua bergerak menuju meja yang tersisa, meninggalkan jejak kekacauan di belakang mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak hari itu, Alex dan Theo menunjukkan perubahan sikap yang tak terduga. Mereka memperlakukan Aeris dengan kelembutan yang luar biasa, seolah-olah dia adalah harta yang sangat berharga. Perubahan ini begitu mencolok hingga Aeris merasa seperti terjebak dalam sebuah mimpi yang aneh.

Di suatu sore yang cerah, Aeris pulang ke rumah dengan langkah ringan setelah hari yang panjang di sekolah. Namun, suasana di rumah terasa berbeda. Dari dapur, aroma manis dan harum menguar ke seluruh ruangan. Aeris, penasaran dan sedikit bingung, mendekati sumber aroma tersebut dan mendapati Alex di dapur.

Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang