CHAPTER 26

45 4 0
                                    

Di kamarnya yang nyaman, Aeris duduk di meja belajarnya dengan laptop terbuka. Cahaya lembut dari lampu meja menyinari wajahnya yang cantik namun terlihat lelah. Dengan jari-jarinya yang lincah, ia mengetikkan kalimat terakhir dari makalah untuk tugas kelompoknya. Setelah menekan tombol "simpan," ia meregangkan badannya, merasakan penat yang menyelimuti tubuhnya mengendur sedikit.

Sejenak, ia menoleh ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan sore hari. Aeris bangkit dari kursinya, mengangkat laptopnya, dan berjalan keluar dari kamar sambil bersenandung pelan, melepas penat dengan nada-nada ceria. Suara langkahnya yang lembut menyentuh lantai menggema di sepanjang lorong.

Saat ia sampai di ruang kerja Alex, ruangan itu kosong. Alex sedang bekerja, seperti biasa. Aeris tidak terganggu dengan kesunyian itu karena tujuannya hanya untuk meminjam printer di ruangan ini. Ia menghubungkan laptop-nya ke printer dan mulai mencetak makalahnya.

Setelah mencetak makalahnya, ia mulai mencari stapler untuk merapikan kertas-kertas yang baru saja dicetak.

"Hmmm... di mana ya?" gumamnya sambil menelusuri meja kerja Alex. Tidak ada stapler di atas meja, jadi ia memutuskan untuk memeriksa laci-laci meja itu.

Satu per satu laci dibuka, namun tidak ada tanda-tanda stapler di sana. Hanya tinggal satu laci yang terkunci. Mata Aeris tertuju pada laci itu. Pikirannya berputar, penasaran apa yang disembunyikan oleh kakaknya sehingga mengunci lacinya. Rasa penasaran itu begitu kuat, hingga ia memutuskan untuk mencari kunci laci tersebut.

Rasa ingin tahunya mengalahkan rasa lelah. Ia menelusuri setiap sudut ruangan, mencari di tempat-tempat yang sekiranya menjadi tempat penyimpanan kunci. Namun, setelah cukup lama mencari, kunci itu tetap tidak ditemukan. Aeris mulai kelelahan, hampir menyerah. Ia merebahkan kepalanya di meja, menatap lurus ke depan dengan frustasi.

Namun, matanya menangkap sesuatu. Di bawah kotak penyimpanan alat tulis, ia melihat benda kecil berkilau. Aeris pun segera mengambilnya, dan sesuai dugaannya, itu adalah sebuah kunci.

"Ini dia!" serunya dengan gembira.

Dengan jantung berdebar, Aeris membuka laci yang terkunci itu. Saat laci terbuka, ia terkejut melihat banyak obat-obatan yang tersimpan di sana.

"Hah?!" teriaknya, mundur dengan kaget. Kertas-kertas makalah yang baru ia cetak jatuh berserakan di lantai. Aeris menutup mulutnya dengan tangan yang bergetar, matanya terbelalak tak percaya.

"Apa-apaan ini?!"

Aeris terduduk di kursi. Pandangannya tak lepas dari obat-obatan itu. Perlahan, ia mengambil beberapa kemasan obat dari laci, membaca label-labelnya.

"Bukankah kakak bilang hanya sakit kepala? Tapi... apa-apaan semua ini?"

Aeris berujar lirih, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh pikirannya. Air mata mulai menggenang di matanya. Pikiran buruk melayang di kepalanya, membuat rasa takut mulai merayap dalam dirinya.

"Apa ini yang mereka sembunyikan selama ini?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Air mata mulai mengalir di pipinya. Rasa takut dan kepanikan menyelimuti hatinya.

Aeris duduk di sana, dalam kesunyian yang semakin dalam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia temukan. Dunia seolah runtuh di sekelilingnya, meninggalkan dirinya dalam kebingungan dan ketakutan yang mendalam.

 Dunia seolah runtuh di sekelilingnya, meninggalkan dirinya dalam kebingungan dan ketakutan yang mendalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Takdir yang Berulang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang