Aeris berdiri di depan pintu kamar Theo, mengetuknya dengan lembut. Tidak ada jawaban. Suasana sore yang tenang hanya diisi oleh suara detik jam di kejauhan. Aeris merasa khawatir, tetapi lebih dari itu, dia merasa sedikit jengkel. Theo memang sering seperti ini, terlalu asyik dengan dunianya hingga lupa waktu.
Dengan napas pelan, Aeris memutuskan untuk membuka pintu. Untunglah, pintu itu tidak terkunci. Ia melangkah masuk dan langsung disambut dengan pemandangan yang sudah terlalu akrab baginya—kekacauan. Pakaian tersebar di lantai, buku-buku tebal berserakan, dan kertas-kertas penuh dengan coretan menghiasi setiap sudut kamar.
Matanya kemudian tertuju pada sosok Theo, yang tertidur di meja belajarnya. Kepalanya terkulai di antara tumpukan buku, dengan wajah yang hampir tertutupi rambut yang acak-acakan.
"Kenapa kamu selalu belajar terlalu keras?" gumam Aeris pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Ia mendekat, menyingkirkan beberapa buku yang menghalangi dan mengusap rambut Theo, merapikan helai-helai yang menutupi wajahnya.
"Theo, bangun. Waktunya makan malam," ucap Aeris dengan lembut, mencoba membangunkannya. Hanya gumaman pelan yang menjadi respon Theo. Matanya masih tertutup rapat, seolah terperangkap dalam dunia mimpinya.
Aeris menghela napas kecil, kemudian mencoba lagi. "Hei, Theo. Cepat bangun," suaranya lebih ceria kali ini, disertai dengan cubitan kecil di pipi Theo.
Theo hanya menepis tangan Aeris dengan lembut, lalu kembali terlelap. Aeris tertawa kecil melihat tingkah laku kakaknya yang keras kepala. "Theo, kalau kamu tidur seperti ini bisa-bisa lehermu sakit," katanya sambil mencoba mendorong tubuh Theo agar duduk dengan lebih nyaman. Namun, Theo masih enggan membuka matanya.
"Jam berapa sekarang?" tanya Theo dengan suara serak, masih setengah terjaga dengan mata yang masih tertutup.
"Sudah jam 7 malam. Ayo turun, kakak memanggil kita untuk makan malam," ajak Aeris.
Theo hanya mengangguk pelan, "Ya, ya... kamu turun duluan saja. Nanti aku menyusul."
Aeris mengerutkan bibirnya, sedikit tidak puas dengan jawaban Theo, tetapi dia tahu, tidak ada gunanya berdebat sekarang. "Baiklah, aku sudah membangunkanmu ya. Jangan salahkan aku nanti kalau semua makanan sudah habis dan tidak ada yang tersisa untukmu," ucapnya dengan nada menggoda sebelum melenggang pergi, meninggalkan Theo dengan suasana kamar yang kembali tenang.
Beberapa jam berlalu, dan keheningan malam semakin pekat. Theo akhirnya terbangun dari tidurnya yang tak sengaja. Kepalanya masih terasa berat, namun dia merasa sedikit lebih segar setelah beberapa jam beristirahat. Ia perlahan mengangkat tubuhnya dari meja, mengusap wajahnya yang masih setengah mengantuk.
Matanya tertuju pada sesuatu yang tidak ada sebelumnya—sebuah piring berisi makanan dan segelas minuman yang tertata rapi di sudut meja belajarnya. Di sebelahnya, ada secarik kertas kecil dengan tulisan tangan yang rapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir yang Berulang [END]
FantasyAeris adalah seorang gadis muda yang selalu merasakan tekanan dan ketidakadilan dari kedua kakak tirinya, Alex dan Theo. Sejak kecil, hidupnya penuh dengan penderitaan dan ketidakbahagiaan. Kebencian Aeris terhadap mereka tumbuh seiring berjalannya...