Chapter 10 - My Heart's Pounding, Damn It!

16.6K 832 23
                                        

Welcome!

This story is made with love, so please respect it. Read, enjoy, and support!

Jangan lupa follow Instagram aku ya [@astihrbooks_]

[Maaf jika banyak typo, saya ngetik ini sambil nahan ngantuk, hehe.]

ֶָ֢𐚁๋࣭⭑ֶָ֢

Ferrari merah itu meluncur mulus di jalanan Melbourne, membelah hiruk-pikuk kota dengan anggun. Kilauan catnya memantulkan cahaya matahari, menciptakan pendaran eksklusif yang menegaskan keberadaannya di antara deretan mobil lain.

Suara mesinnya mendengung rendah—halus, bertenaga, dan memikat perhatian siapa pun yang mendengarnya.

Di balik kemudi, Galen duduk tegap, jemarinya melingkar mantap pada setir. Matanya lurus ke depan, tetapi ekor matanya terus mencuri pandang ke sosok di sampingnya.

Ainsley.

Wanita itu kini duduk diam, jauh berbeda dari percakapan mereka di telepon tadi yang penuh nada menyentil. Sejak memasuki mobil, hanya satu kalimat yang keluar dari bibirnya: “Antar aku pulang.”

Diam. Hanya deru mesin yang berbicara di antara mereka.

Saat lampu merah menyala, Ferrari itu berhenti dengan mulus. Galen menoleh. Matanya menelusuri wajah Ainsley yang masih enggan bersitatap dengannya.

Wanita itu hanya bersedekap, memandang keluar jendela dengan ekspresi datar—seolah dirinya tak lebih dari sekadar supir taksi dadakan.

Galen mendengus pelan. Semakin lama ia menatap Ainsley, semakin jelas bayangan yang terlintas di kepalanya.

Dua malam lalu.

Ciuman panas mereka di dalam mobil ini. Sentuhan yang terlalu berani, desahan yang terlalu jujur, dan cara Ainsley membalasnya—
Tuhan, ia masih bisa merasakan bibir wanita itu di kulitnya.

Ia berdehem, mencoba mengusir bayangan itu.

Tapi sialan yang satu ini terlalu manis untuk dilupakan.

“Kau sudah makan siang?” suara Galen memecah keheningan, lebih sebagai usaha menyelamatkan dirinya sendiri dari pikiran-pikiran brengsek yang terus menghantuinya.

Ainsley hanya menoleh sekilas sebelum menjawab, “Belum.”

Singkat. Datar. Jutek.

Galen mengerjapkan mata, mencoba memahami perubahan drastis ini. Bukankah tadi di telepon wanita itu hampir memohon-mohon untuk dijemput? Panik, gelisah, ingin segera kabur dari pria yang jelas-jelas ingin ia campakkan.

Tapi sekarang? Lihatlah dia. Duduk di sana, bersikap seolah tak pernah ada apa pun di antara mereka.

Oh, ayolah, Ainsley. Kau bisa lebih manis dari ini.

Galen tidak menyerah. “Mau makan siang bersama?” tanyanya lagi, nadanya lebih santai, seolah ia hanya iseng bertanya.

“Tak perlu. Aku akan makan di rumah.”

Astaga. Benarkah? Begitu saja?

Seolah dua malam lalu tidak pernah terjadi. Seolah bibir mereka tidak pernah saling mencari dalam kegelapan, seolah jemari mereka tidak pernah merayapi kulit satu sama lain dengan keinginan yang sama gilanya.

Galen mendesah pelan. Tidak mungkin Ainsley bisa melupakan semuanya secepat itu. Ia sendiri masih bisa merasakan sisa panasnya di ujung jari.

“Kalau begitu, ajak aku makan di rumahmu.”

LOSE OR GET YOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang