Di ruang keluarga yang tegang, Jennie tampak berjalan mondar mandir dengan wajah penuh kecemasan. Keenam putrinya duduk dengan suasana hati yang sama. Ruka dan Pharita, yang paling dewasa, mencoba menenangkan Jennie.
"Bun, tenang dulu, ya. Ella pasti melakukan yang terbaik," ujar Ruka, memegang pundak Jennie dengan lembut.
"Betul, Bun. Kita harus percaya pada Ella." tambah Pharita dengan suara lembut.
Namun, Jennie tetap gelisah, matanya tak lepas memandang ke arah tangga.
Langkah kaki pelan terdengar. Semua mata langsung tertuju pada Ella, yang menuruni tangga dengan wajah penuh kelelahan dan frustasi. Tubuhnya terlihat lemah, seperti kehilangan semangat. Jennie langsung berdiri dan menghampiri Ella.
"Ella, bagaimana? Apa kamu berhasil membujuk papa?" suara Jennie terdengar memohon.
Semua mata tertuju pada Ella. Gadis itu menghela napas panjang, menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. Namun Asa, yang sejak tadi terlihat tak sabar, memotong keheningan.
"Jawab, Ella! Apa kamu berhasil membujuknya?" tanyanya dengan nada tegas.
Pharita menyentuh lengan Asa. "Tenang, Asa. Jangan menekan Ella."
Ella akhirnya menggeleng pelan. Isyarat itu cukup untuk membuat Jennie terduduk dengan lunglai. Wajahnya di penuhi kehancuran. Pharita segera menghampiri dan memeluk Jennie, sementara Ruka mencoba menenangkan suasana.
"Asa, sabar. Kita harus berpikir jernih," ucap Ruka dengan tenang.
Namun, Asa tampak tak perduli. Amarahnya yang selama ini ia pendam terhadap Sehun meledak. Dengan langkah cepat, ia berlari menaiki tangga menuju ruang kerja Sehun.
"Asa! Tunggu!" Ruka memanggilnya, tetapi Asa sudah menghilang dari pandangannya.
.
.
.
.
.Di ruang kerja Sehun yang sedang menatap dokumen di mejanya mendongak, terkejut oleh suara pintu.
Bruk...
Asa berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh amarah.
"Asa, ada apa? Kamu terlihat sangat marah," tanya Sehun dengan nada santai, sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Tanpa berkata apa-apa, Asa meraih sebuah guci dari meja kecil di sudut ruangan dan melemparkannya ke Sehun, Sehun sigap menghindar, guci itu pecah di lantai.
"Wah, Asa. Akhirnya kamu menunjukkan emosimu juga. Saya tahu selama ini hanya kamu yang belum bisa menerima saya. Saya sangat terkesan," ucap Sehun sambil tersenyum samar.
"Berhenti berbicara omongan kosong! Cepat katakan di mana Canny! Saya muak dengan sikap Anda!" Asa balas berteriak, suaranya bergetar karena emosi.
Sehun berdiri, lalu berjalan ke arah meja, lalu mengambil ponselnya. Ia membuka galeri foto dan menunjukkan sebuah gambar kepala Asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Bayang Ibu
AcakCanny, seorang gadis kecil berusia lima tahun, harus menghadapi kenyataan pahit setelah di tinggal pergi oleh ibunya dan keenam kakak perempuannya. Hidupnya berputar di sekitar perawatan perawatan ayah yang sakit dan berjuang dengan keterbatasan eko...