Bab 22

338 70 18
                                    

Langit senja mewarnai perjalanan pulang Ella. Ia duduk diam di kursi belakang mobil. Bersandar pada jok kulit yang empuk. Pandangannya kosong menatap jalanan yang terhampar di depan, meski pikirannya melayang jauh. Supir keluarga yang mengemudikan mobil sesekali melirik ke arah Ella melalui kaca spion, ingin memastikan nona muda itu baik-baik saja.

Namun Ella tenggelam dalam pikirannya. Kenangan siang tadi kembali membayangi--momen ketika ia melihat dari kejauhan kakak-kakaknya, Ruka, Ahyeon, Rami, dan Rora, yang bersungguh-sungguh menjemput Canny. Mereka tampak penuh semangat, meskipun Canny menunjukkan sikap dingin yang begitu jelas.

"Mereka benar-benar berusaha..." batin Ella, sudut bibirnya terangkat kecil. Ada rasa bangga menyelinap di hatinya, melihat kesungguhan kakak-kakaknya yang tak kenal lelah.

Tapi kebanggaan itu disertai rasa pilu. Sikap Canny yang dingin tak hanya menusuk bagi mereka, tapi juga bagi Ella sendiri. Apalagi saat ia mengingat bagaimana Canny terkesan menghindarinya belakangan ini.

"Canny..." gumam Ella pelan, pandangannya kini beralih ke jendela mobil.

Ia merindukan Canny. Merindukan momen-momen kecil di mana ia biasa mengganggu Canny dengan segala tingkah konyolnya. Semua itu hanya untuk mendapatkan sedikit perhatian dari Canny--senyum kecil, tatapan kesal, atau bahkan gumaman protes dari bibirnya. Tapi kini, semua kenangan itu terasa semakin jauh.

Ella menutup matanya sejenak, menghela napas panjang. Namun, ia tahu ini bukan saatnya memaksakan keinginan sendiri.

"Mereka sudah berusaha sejauh ini. Biarkan mereka dulu. Aku juga harus memberi ruang..." Pikirnya, berusaha meyakinkan diri.

Meski begitu, ada ketakutan yang tak bisa ia abaikan. Ketakutan bahwa jarak yang ada di antara mereka tak akan pernah terjembatani, bahwa kenangan yang ia rindukan mungkin tak akan pernah kembali.

Ketika mobil mendekati gerbang rumah yang besar, supir memperlambat laju mobilnya. Ella menatap rumah megah itu, tapi hatinya tertinggal di momen tadi.

"Semua butuh waktu, Ella..." bisiknya pelan, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ini adalah awal dari perjalanan panjang mereka semua untuk kembali menjadi keluarga. Namun, apakah Canny akan memberi kesempatan itu?

.

.

.

.

.

.

.

Di dalam mobil Canny duduk di kursi tengah, tepat di samping Rora yang terus saja mencoba mengganggunya. Wajahnya tetap datar, matanya terpaku pada pemandangan di luar jendela, seolah-olah tidak ada siapa pun di dalam mobil selain dirinya. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diiringi suara mesin yang sesekali mendominasi suasana.

Rora, yang duduk di sebelah Canny, tidak bisa menahan diri. Dia mencubit pipi Canny dengan pelan sambil terkikik. "Adikku ini kenapa sih lucu banget, ya? Kok bisa kelihatan lebih imut kalau lagi kesal? goda Rora sambil tersenyum lebar.

Canny tidak menanggapi. Pipinya sedikit memerah, entah karena cubitan itu atau karena menahan rasa jengkel. Tapi ekspresinya tetap dingin, tidak ada perubahan yang berarti.

Tidak puas, Rora mulai mengelus rambut Canny, membelai dengan lembut. "Rambutmu sangat halus, Canny. Kakak jadi ingin menyisirkan setiap hari."

"Rora, cukup," ujar Ahyeon yang duduk di depan, menoleh sekilas dari kursi penumpang depan. "Canny, akan marah, jangan mengganggunya terus."

"Ah, biar saja, Kak," balas Rora santai sambil memeluk Canny dari samping. "Adikku yang satu ini kan lucu sekali. membuatku selalu ingin mengganggunya."

Dalam Bayang IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang