Takdir

887 125 26
                                    

"Apa mereka saling menyukai?" Tanya Savira menatap Sania yang mematung mendengar pertanyaan itu.

Sania terdiam cukup lama. Hingga akhirnya.....

"Apa kamu akan merestui mereka jika pada akhirnya mereka saling jatuh cinta?"

Savira memalingkan wajahnya, ia melihat Freen dan Rebecca seperti mempunyai dunianya sendiri. Ia lalu menghembuskan nafasnya pelan, sembari menatap langit-langit bernuansa putih itu.

"Aku tidak ingin dia hidup sendirian, setelah aku pergi. Jadi aku selalu ingin dia ditemani oleh orang yang dia sayang dan menyayanginya. Jika memang Rebecca adalah takdirnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain merestui keduanya."

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Rebecca berjalan pelan menuju gerbang sekolah, ia memegang tali tas yang berada dipundaknya dengan kuat. Bayang-bayang akan Freen yang tertawa terlintas begitu saja membuat rindu itu semakin besar.

"Baru juga sehari ga liat kamu, udah kangen aja" Ujar Rebecca pelan, ia melihat beberapa murid yang berlarian dengan temannya, pandangannya beralih pada langit yang nampak sangat cerah pagi ini.

"Semoga kamu cepet keluar dari rumah sakit ya sayang. Aku ka..."

"Bec!"

"Astaga!"

Rebecca menyentuh bagian dadanya yang berdebar kencang. Ia menatap perempuan disampingnya dengan wajah menahan marah.

"So-sorry" Ujar perempuan yang tak lain sahabat dari Freen, Nam.

Perempuan tinggi itu menghembuskan nafasnya pelan, lebih tepatnya mengatur pernafasan yang berangsur berantakan.

"Sorry, gue ngagetin lo"

"Udah , lupain aja" Jawab Rebecca cepat. Setelah nafasnya cukup teratur, ia berbalik menatap Nam yang terus berjalan disisinya.

"Ada apa?" Tanyanya kemudian.

"Gue cuma mau nanyain gimana keadaan Freen,"

"Freen udah sadar. Cuma dokter nyuruh buat dirawat dulu di rumah sakit."

"Lo sore ini pasti kesana ya? Gue ikut boleh? Sama Heng dan Poom juga."

Rebecca mengangguk. Walau sebenarnya ia ingin menghabiskan waktu berdua. Tapi, sangat egois jika membatasi Freen bertemu dengan sahabat-sahabatnya.

"Boleh , bareng aja nanti. Tapi mungkin ga akan semua bisa masuk ke ruangan."

"Gampang itu mah" Jawab Nam senang. Ia tersenyum lebar sampai matanya tidak lagi terlihat.
.
.
.

Rintik-rintik hujan membasahi kepala 4 orang yang sedang berjalan menuju koridor rumah sakit. Mereka memutuskan untuk berangkat bersama dengan mobil milik Heng.

"Lo kenapa ga parkir di basement aja si? Padahal nih ada!" Protes Poom sambil mengusap bajunya yang basah terkena hujan. Nam mengangguk setuju, ia mengusap kepala lalu bajunya.

Heng menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Yaudah si, gue aja basah bukan cuma lo berdua. Liat noh Rebecca, ga protes sama sekali. Masih untung yaa lo berdua gue angkut."

Nam mencibir Heng dengan mimik menyebalkan, sedangkan Poom berlaga seperti ingin memukul wajah Heng.

Tak berapa lama, seorang satpam menghampiri mereka bertanya ada keperluan apa anak muda seperti mereka di depan rumah sakit.

"Ah iya pak, kamu ingin menjenguk" Jawab Nam seramah mungkin, Satpam itu mengangguk, mengantarkan mereka ke resepsionis untuk menanyakan kamar pasien yang bersangkutan.

Best PartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang