Bab 37: Hari minggu

21 1 1
                                    

"Kebingungan, kecemasan, keraguan, aku bagai paradoks berjalan."

Pagi yang datang dengan menyebalkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi yang datang dengan menyebalkan. Tapi aku senang karena ini hari minggu. Aku menghabiskan waktuku untuk bermain geme sepuasnya.

Sejujurnya ada hal gila kemarin. Kemarin, si gila Kaminari menyapa orang-orang di U.A tanpa tahu malu. Semuanya dia sapa. Semua orang asing.

"Eh, kakak rambut hitam, halo!" sapa Kaminari dari jendela lantai dua, ke orang asing di bawah. Tentu saja, aku miris melihatnya. Dasar orgil.

Tapi, aku ikut juga. SEPERTINYA SERU, JADI AKU IKUT-IKUTAN, bersama Mina dan Sero. Tanpa malu kami menyapa semua orang di sekolah.

Pulangnya, tadi malam. Rasa malu meliputi Kaminari yang akhirnya sadar dan bertobat. Aku sih ikut-ikut saja.

Lalu pagi ini, jam 10 pagi, hari minggu aku sedang merajut di lantai satu. Rencananya mau merajut tas. "Shoto, apimu dong," ucapku.

Biasanya benang yang sudah aku potong akan aku bakar sedikit, namun agar lebih praktis aku minta bantuan Todoroki yang duduk di sampingku. Seharusnya aku bisa sendiri, namun aku belum pandai mengatur besar api yang aku hasilkan. Aku cuma bisa membuatnya sekecil telapak tanganku. Namun belum bisa sejariku.

"Apinya kecil saja, seperti mancis, kecill saja," jelasku.

Todoroki mendekat, lalu dari jari telunjuknya muncul api kecil. Aku kemudian dengan hati-hati mendekatkan rajutanku. Lalu siap.

"Ehe, terima kasih Shoto. Lain kali ajarkan aku cara membuat api yang kecil ya," kataku. Dia kemudian mengangguk.

Kemudian aku dan para perempuan mengobrol sambil duduk di karpet depan TV. TV tidak dinyalakan, lagipula kami di sini tidak berniat untuk menonton, tapi untuk mengobrol dalam posisi membentuk lingkaran.

Kami sedang mengobrol sebelum tiba-tiba Hagakure menangis. LAH? TIBA-TIBA.

"Kok aku merasa tidak berguna, ya," ucap Hagakure. Dia menunduk sambil memeluk boneka beruangnya. "Tidak ada bakat, tidak kuat, quirk-ku juga tidak berguna-berguna amat..."

Kami menatap Hagakure dengan simpati. Uraraka mengusap-usap bahu Hagakure.

"Quirk-mu itu berguna, loh," ujar Sakuya. "Kalau tidak, mana mungkin kamu lulus masuk U.A."

Yaomomo mengangguk. "Jika tentang bakat, mungkin kamu belum menemukannya saja," ujar Yaomomo, sambil tersenyum lembut.

Hagakure mengangkat kepalanya. "Tapi, kalian semua sudah ada, tapi aku belum. Aku kan jadi sedih banget..." Lalu dia menunduk lagi.

"Begini," mulaiku. Suaraku kecil dan lembut, agar membuat Hagakure tenang. "Seperti filosofi tumbuhan, misalnya tanaman cabai dan mangga. Cabai lebih cepat berbuah daripada mangga, kan? Tapi memangnya itu membuat derajat mangga lebih rendah daripada cabai? Tidak, kan?"

ALICE IN BOKU NO HERO / {BNHAxOC}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang