Gio membuka pintu kamarnya secara perlahan menciptakan suara engsel berdecit samar di tengah keheningan malam. Dia berhenti di ambang pintu sambil menatap ke sekeliling, dia merasa rumahnya terasa begitu sunyi malam ini. Biasanya ada suara riuh tawa si bungsu atau obrolan Feni bersama sang nenek, tapi kali ini hanya ada suara jam dinding yang berdetak teratur.
Dengan langkah santai seolah tidak terlalu memikirkan keheningan rumah, Gio berjalan hendak ke dapur untuk mengambil minum. Namun, dalam perjalanan dia merasa diperhatikan-dia spontan menoleh ke arah ruang tengah dan mendapati kedua orang tuanya sedang duduk bersama disana.
Gio tadinya ingin melanjutkan langkahnya ke dapur, mencoba mengabaikan kedua orang tuanya, tapi tatapan Melody dan Toni kepadanya terlihat sangat serius dan dia juga sudah terlanjur saling tatap mata dengan kedua orang tuanya. Dia seketika merasakan keadaan sedang serius, Toni masih memakai kemeja kerja yang lengkap menandakan ayahnya itu langsung berbicara serius dengan bundanya begitu dia pulang. Sedangkan Melody sudah berganti pakaian sedikit lebih santai, cardigan putih membalut tubuhnya menunjukkan jika baju yang Melody gunakan bukan setelan untuk tidur.
Dengan perasaan ragu, Gio mendekati kedua orang tuanya. Dia mendekat dan berdiri di depan mereka. "Bun...bunda mau kemana? Kok rumah sepi banget? Lily, Kak Mpen, sama nenek mana?" Tanya Gio dengan nada bicara hati-hati seakan tidak mau membuat Melody marah.
Dia sengaja basa-basi untuk memastikan sesuatu, setelah pertengkaran di sekolah tadi Melody bersikap biasa aja seolah tidak terjadi apa-apa, hanya saja yang membuat Gio tidak biasa adalah bundanya jadi lebih banyak diam walaupun akan tetap menjawab jika ditanya. Seharusnya dia bersyukur bunda dan ayahnya tidak membahas soal pertengkaran tadi, tapi ini malah terlalu ganjal untuk Gio.
"Mereka bertiga lagi main ke rumah om Dewa, kenapa?" Tanya Melody dengan nada tenang, tapi tetap saja tidak membuat Gio tenang juga.
Mendapati pertanyaan balik membuat Gio kebingungan, dia menggaruk belakang kepalanya karena bingung harus menjawab apa. "Oh gitu ya..." Ujar Gio sambil mengangguk kecil. "Ya udah, aku mau ambil minum terus lanjut belajar" Lanjutnya sambil berbalik, berniat kembali ke dapur.
"Vano, tunggu sebentar." Kali ini terdengar suara tegas dan berat, jelas itu suara dari ayahnya.
Dengan ragu Gio kembali menoleh ke arah kedua orang tuanya, "Kenapa, yah?" Tanyanya.
Toni menatap Gio dengan tatapan serius dan cukup menusuk membuat Gio jadi serba salah, "Kamu gak melupakan sesuatu kan?" Tanya Toni.
Gio spontan mengerutkan keningnya, dia mencoba mengingat sesuatu yang dia lupakan, tapi hasilnya nihil. Dia kemudian menggelengkan kepalanya dengan ragu sebagai jawaban dari pertanyaan ayahnya.
Mendapat jawaban gelengan kepala dari sang putra membuat Toni menghelakan nafasnya, dia melirik sekilas ke arah sang istri sebelum akhirnya menatap ke arah putranya lagi.
"Tarik sofa itu kesini dan katakan apa yang terjadi di sekolah!" Perintah Toni dengan nada bicara yang cukup tinggi.
Gio tersentak, jika yang Toni maksud adalah pertengkaran di sekolahnya, itu bukan sesuatu yang Gio lupakan, dia juga tidak bermaksud menyembunyikan apapun dari kedua orang tuanya. Cepat-cepat Gio melakukan apa yang Toni minta, dia menarik sofa single yang untuknya tidak terlalu berat, lalu duduk disitu sebelum Toni memintanya.
"Yah...aku gak bermaksud buat menyembunyikan ini, justru aku bingung kenapa bunda diam aja" Tutur Gio dengan wajah paniknya, dia melirik ke arah bundanya yang sedang memijat pangkal hidungnya sendiri. Bagi Gio, ini lah yang paling ditakutkan. Kehilangan kepercayaan dari orang tuanya-orang yang seharusnya sepenuhnya percaya padanya, apa jadinya tidak percaya lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Rasa
Kısa HikayeBagaimana rasanya mencintai dalam diam? Mungkin satu-satunya yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah Gio. Dia dengan segala pertimbangan di kepalanya memilih memendam rasa pada sang kakak kelas saat dia masih SMP. Rasa yang dia kira akan pudar saat...