054

634 124 21
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Wistara sudah berusia sepuluh bulan, bayi itu duduk di antara bantal-bantal kecil yang tersusun rapi di sekelilingnya. Tubuh mungilnya tampak tegap meskipun ia sesekali bergoyang, berusaha menyeimbangkan diri.

Di hadapannya, Winta berdiri dengan tangan bersedekap, memperhatikan anaknya. "Ayo, coba berdiri dulu, sayang," suruhnya.

Wistara menatap Winta dengan mata bulatnya yang jernih, tangannya yang mungil menggenggam erat mainan kayu berbentuk lingkaran yang dihiasi warna-warna cerah, mencoba memahami permintaan Winta. Setelah beberapa detik, ia perlahan melepaskan genggamannya dari mainan itu dan mengalihkan fokus pada tubuhnya sendiri.

Winta berjongkok, mendekatkan dirinya ke anaknya, tetapi tetap menjaga jarak untuk memberi ruang pada Wistara mencoba sendiri. "Nggak apa-apa, nanti bubu bantuin." katanya sambil mengulurkan tangan sedikit.

Wistara memiringkan badannya ke depan, tangan mungilnya bergerak mencari pegangan pada bantal di sekitarnya. Tubuh kecilnya bergetar saat ia berusaha mengangkat bagian bawah tubuhnya. Satu lututnya menekan karpet, sementara kaki lainnya menendang-nendang ringan ke udara, seolah mencoba mencari cara untuk menopang dirinya sendiri.

Winta menahan napas, mengamati Wistara dengan hati-hati. Bibirnya mengulas senyum penuh harapan. Dengan usaha keras, Wistara berhasil menegakkan tubuhnya sedikit. Tangan kecilnya menggenggam erat bantal di depannya, menggunakan benda itu sebagai tumpuan. Tubuhnya bergoyang-goyang, tapi ia tidak menyerah. Pipinya memerah karena usaha yang ia keluarkan.

"Widih, jago banget." pekik Winta, setengah takjub. Ia mencondongkan tubuh sedikit, siap menangkap jika Wistara kehilangan keseimbangan.

Setelah beberapa detik, tubuh mungil Wistara mulai bergoyang lebih kuat, tanda bahwa ia kelelahan. Dan akhirnya, tanpa bisa dicegah, ia terjatuh kembali ke bantal empuk di belakangnya. Suara tawa kecil keluar dari mulutnya, seolah menunjukkan bahwa ia tidak kecewa. Sebaliknya, ia tampak puas dengan usahanya sendiri.

Winta tertawa kecil, lalu duduk di samping anaknya, mengusap kepala Wistara dengan lembut, jari-jarinya menyapu rambut halus yang mulai tumbuh lebih lebat. "Kamu hebat, lho. Nggak apa-apa jatuh, nanti kita coba lagi, ya?"

Wistara hanya bergumaman tak jelas, lalu kembali menggenggam mainannya. Ia mengayunkan benda itu ke depan dan ke belakang, bermain seolah melupakan usahanya tadi.

Tiba-tiba, suara denting ponsel memecah keheningan. Winta menghentikan kegiatannya, lalu melirik ponsel yang tergeletak di sisi sofa. Ia berdiri perlahan, menyeka tangannya ke celana panjang yang dikenakannya sebelum meraih perangkat itu. Layarnya menyala, menampilkan nama Prima di bagian atas pesan.

Ia menghela napas pelan, membuka pesan itu, ekspresinya berubah. Ia hanya menatap layar itu selama beberapa detik sebelum mengunci kembali ponsel dan meletakkannya di atas meja kecil di dekat sofa.

Between Us | Winrina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang