045

886 124 59
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Karina melangkah cepat menuju kamar, wajahnya datar, tidak menunjukkan emosi apa pun, tetapi langkahnya yang sedikit berat menyiratkan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Winta hanya bisa memandangi punggung Karina dari ruang tamu, sebelum memutuskan untuk mengikutinya. Kedua perempuan itu kini berada di dalam kamar, tetapi tidak ada percakapan di antara mereka.

Karina duduk di meja kecil di sudut kamar, mengambil pensil dan selembar kertas kosong. Tangannya mulai bergerak, menggambar sesuatu yang tampak seperti garis-garis kasar tanpa bentuk yang jelas.

Sementara itu, Winta berdiri di dekat pintu, bersandar pada kusen kayu dengan lengan terlipat di depan dada. Napasnya berat, meski tidak keras, seolah menahan kekesalan yang perlahan menggunung. Ia merasa kehadiran Indri tadi hanya akan memicu pertengkaran baru, dan ia sudah cukup lelah dengan hal semacam ini. Ia menghela napas panjang, lalu bergerak menuju ranjang, duduk di sisi tepi dengan punggung sedikit membungkuk.

"Marah lagi, ya?" tanyanya akhirnya, dengan nada yang datar namun terdengar jelas bahwa ia tidak berharap jawaban tertentu.

Karina tidak menjawab. Tangan kirinya menopang dagu, sementara tangan kanannya terus sibuk menggambar, meski goresannya kini semakin tak beraturan. Winta mengusap wajahnya, merasa putus asa mencari cara untuk memecahkan keheningan ini tanpa memperparah situasi.

Karina akhirnya berhenti menggambar. Ia meletakkan pensilnya dengan sedikit terlalu keras di atas meja, sehingga menimbulkan suara kecil. Ia menoleh ke arah Winta, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Tatapannya cukup untuk menyampaikan bahwa ia kesal, meski ia berusaha menahan diri untuk tidak meledak.

Winta menyandarkan tubuhnya ke tepi ranjang, ia tahu, ini tentang Indri. Karina tidak perlu mengatakan apa pun, karena sikapnya sudah cukup memberi tahu apa yang ada di pikirannya. Tapi, Winta tidak mengerti mengapa Karina selalu memilih diam, alih-alih berbicara langsung. "Kamu mau ngomong sesuatu?"

Karina memalingkan wajah, kembali menatap kertas di depannya, meski ia tidak benar-benar melanjutkan menggambar.

Winta menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Ia bangkit dari ranjang, melangkah mendekati meja tempat Karina duduk. "Karina," panggilnya pelan.

Karina menoleh sedikit, cukup untuk memberi isyarat bahwa ia mendengar, tetapi tetap tidak mengatakan apa pun. Winta merasa frustrasi. Ia mengusap tengkuknya, mencoba meredam emosi yang mulai menggelegak di dalam dirinya.

"Kalau kamu marah soal tadi, aku nggak tahu harus bilang apa lagi," kata Winta, nadanya mulai terdengar lelah. "Aku nggak merasa perlu bicara soal Indri, karena menurutku itu nggak penting."

Kalimat itu akhirnya membuat Karina bergerak. Ia berbalik sepenuhnya, "Tapi itu penting buat aku."

"Penting kenapa?"

Between Us | Winrina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang