035

1K 137 28
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Di ruangan kerja Winta, suasana berubah menjadi hening yang kaku setelah Asya pamit meninggalkan mereka. Karina berdiri di sisi ruangan, menatap Winta dengan tatapan yang sulit diartikan. Sorot matanya—kecewa, sakit hati, dan keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Winta tetap terdiam, masih merasa kepalanya berdenyut hebat seiring rasa pusing yang tak kunjung mereda. Ia tahu Karina membutuhkan penjelasan, tapi saat ini, memberikan penjelasan sepertinya adalah hal yang tidak mampu ia lakukan.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Winta membaringkan tubuhnya di sofa, menutup mata sejenak, mencoba mengalihkan fokus dari situasi yang sedang berlangsung di hadapannya. Dia benar-benar kelelahan—setiap detik yang berlalu membuat rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, dan yang bisa ia lakukan hanyalah berharap agar rasa sakit itu segera mereda.

Karina menghela napas berat, mencoba meredam emosinya sendiri. Sebuah bagian dari dirinya ingin langsung bertanya, memaksa Winta untuk memberikan penjelasan atas semua yang ia lihat. Tapi, melihat kondisi Winta yang terlihat tak berdaya, ada perasaan iba yang muncul, meski bercampur dengan perasaan jengkel yang terus membesar.

Perlahan, Karina melangkah mendekati Winta, kemudian berjongkok tepat di depan wajahnya, menatap lekat-lekat sosok yang kini terlihat begitu rapuh di hadapannya. Perasaan kecewa dan sakit hati masih menghantui pikirannya, namun melihat kondisi Winta, hatinya melunak sejenak.

"Kamu sakit?"

Winta membuka mata sedikit, lalu mengangguk lemah. "Migrainku kambuh." jawabnya lirih.

Karina menghela napas panjang, mencoba menahan berbagai perasaan yang bergejolak di hatinya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berdiri dan duduk di sofa, lalu menarik kepala Winta untuk berbaring di pangkuannya. Seketika, Winta menurut tanpa perlawanan, merasa kenyamanan yang perlahan mengurangi sedikit sakit yang menusuk di kepalanya.

Dengan perlahan, Karina mulai memijat pelipis Winta, jari-jarinya bekerja lembut, berusaha mengalihkan rasa sakit yang mungkin tengah mendominasi tubuh Winta. Winta menutup mata, merasakan sentuhan Karina, meskipun ia tahu di balik kelembutan ini, ada kekecewaan besar yang tengah dirasakan istrinya.

Suasana sunyi kembali melingkupi mereka, hingga akhirnya Karina berbicara dengan suara pelan. "Kenapa nggak bilang ke aku?" Ada kegetiran di balik kata-katanya, perasaan tersisih yang sulit disembunyikan. "Aku bisa jemput kamu pulang kalau kamu bilang."

Winta terdiam, menghindari tatapan Karina. "Maaf," jawabnya singkat.

Karina tak berkata apa-apa lagi. Meski permintaan maaf itu belum bisa menghapus seluruh kecewanya, dia memilih untuk tetap memijat pelipis Winta, dan kurang lebih selama lima belas menit berlalu, dengkuran halus keluar dari mulut Winta.

Winta tertidur pulas di pangkuan Karina, napasnya teratur seakan bebannya sedikit berkurang. Di sela-sela itu, Karina berusaha tetap tenang, tangannya dengan lembut memainkan rambut Winta yang sedikit berantakan.

Between Us | Winrina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang