Bagian Empat Puluh Tujuh

1.4K 204 207
                                    

"Selama saya pergi, laporkan apa pun yang dilakukan Ansella, dan jangan biarkan dia pergi tanpa supir. Kalau perlu, awasi dia terus. Paham?"kata Jevan dengan nada dingin, tatapannya menyapu seluruh pekerja di rumahnya yang ia kumpulkan.

"Baik, Pak" jawab mereka serempak, sedikit tegang mendengar perintah Jevan.

Jevan mengangguk singkat lalu melangkah menuju mobilnya. Disaat yang sama Mark muncul dari arah gerbang rumah, masih berkeringat usai lari pagi. Napasnya masih sedikit tersengal.

"Papa udah mau pergi?" tanya Mark santai, mencoba berbasa-basi sambil mengusap wajahnya dengan handuk kecil.

Jevan hanya menjawab dengan anggukan. Pak Mur sudah membukakan pintu mobil sambil memastikan koper Jevan telah dimasukkan ke bagasi. Sebelum masuk, Jevan berhenti sejenak untuk menatap putranya.

"Jangan macem-macem selama Papa pergi, Mark" ucap Jevan dengan nada setengah memperingatkan.

"Papa gak mau dengar kabar aneh-aneh dari kamu di sana"
lanjutnya.

"Iyaa"balas Mark singkat tak begitu peduli dan langsung masuk ke dalam tanpa perlu repot-repot menunggu Ayahnya pergi dulu.

Jevan lalu masuk ke mobil. Pak Mur menutup pintu dan bersiap membawa Jevan ke bandara. Di dalam mobil, Jevan menghela napas panjang. Pandangannya menerawang keluar jendela lebih tepatnya melihat ke arah kamar utama berada. Sikap dingin Ansella sebelum keberangkatannya masih menghantuinya. Diamnya, perempuan itu selama dua hari ini membuatnya tak tenang. Ansella bahkan tidak mengucapkan kalimat perpisahan yang sialnya ingin Jevan dengar sebelum pergi. Perempuan itu seperti dengan sengaja membangun tembok tinggi diantara mereka.

Di Dalam Pesawat Menuju Singapur, Jevan bergeser tidak nyaman di kursinya. Ia mulai tak tenang saat pesawat mulai bergerak di landasan pacu. Kedua tangannya mencengkeram sandaran tangan, saat pesawat mulai lepas landas. Jantungnya berdegup tak tenang, hal yang selalu ia alami saat akan naik pesawat. Jevan takut ketinggian belum lagi getaran halus mesin pesawat terasa hingga ke tubuhnya, hal itu juga semakin memperparah sakit kepala yang sudah menghantui sejak pagi.

Jevan menutup matanya, berusaha menenangkan rasa takut dan khawatirnya. Tapi, bahkan dengan mata tertutup, wajah Ansella terus terbayang—Perempuan itu juga menghindari untuk sekedar bertatapan dengannya. Ansella mendadak diam setelah mendengar balasannya waktu itu. Jevan sendiri tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya, dan berpikir memang Ansella saja yang terlalu banyak drama. 

Jevan menyandarkan tubuhnya, mencoba menyesuaikan posisi kepala di sandaran kursi. Pramugari lewat, menyodorkan segelas air dengan senyuman ramah. Jevan menerimanya dengan anggukan singkat, lalu menenggaknya dalam satu sekali teguk, berharap itu bisa mengurangi rasa sakit di kepalanya—atau setidaknya rasa mual yang mulai muncul di perutnya.

Jevan menoleh ke luar jendela, dan langsung menyesali keputusannya. Pemandangan hamparan awan yang tak berujung di bawahnya membuat telapak tangannya berkeringat, dan detak jantungnya semakin cepat. Jevan memang selalu benci ketinggian, tetapi penerbangan kali ini terasa jauh lebih berat baginya.

Merasa tak bisa tidur, Jevan lalu menyalakan tablet dan memasang earphone di telinganya. Ia memilih menonton film selama sisa perjalanan. Tapi hal tersebut tidak berhasil. Padahal yang Jevan ingat penerbangannya yang terakhir kali bersama Ansella, ia nyaris lupa kalau dirinya takut terbang. Jevan hanya tertawa bersama perempuan itu sambil menonton film konyol, anehnya sakit kepala dan ketakutannya mendadak lenyap. 

“Pak, Anda baik-baik saja?” suara pramugari memecah pikirannya.

Jevan mendongak, menyadari dahinya  basah oleh keringat. Pria itu mengangguk singkat, menepis pikirannya. Lupakan Ansella, dia tidak berarti apa-apa.

Karmasutra••Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang