Iqbal POV
Lebam ditangan dan punggungku masih terasa sakit. Sedangkan diwajahku hanya ada sedikit lecet dibibir. Aku masih ingat kata-katanya setelah memukuliku dengan tangan kosongnya.
"Bersyukurlah kepada Tuhan karena aku tidak membuat wajahmu juga lebam. Karena kau hanya akan mendapat malu nanti. Itupun jika kau masih punya malu"
Aku tidak melawan. Karena aku memang pantas mendapatkan ini. Mama selalu mengajarkanku untuk bertanggung jawab. Aku tidak ingin mengecewakan mama lebih dari ini.
Tiba-tiba aku teringat dengan Nina. Fauzi sudah tau semuanya, Nina juga akan menjadi sasaran kemarahannya. Aku harus kerumah Fauzi sekarang.
Aku memutar mobilku dan melajukannya secepat mungkin. Tak jauh dari rumah itu, tampak sekerumunan orang dipinggir jalan. Sepertinya ada yang kecelakaan? Kulihat seseorang tergeletak ditanah, sepertinya ciri-cirinya sedikit familiar. Kuperhatikan baik-baik gadis yang tergeletak itu. Nina?
Aku segera keluar dari mobil dan berlari kearah kerumunan itu. Benar, gadis ini adalah Nina.
***
Perlahan-lahan jari Nina mulai bergerak dan matanya juga terbuka. Aku bersyukur karena Nina bukan mengalami kecelakaan. Dia hanya pingsan dijalan. Sebelum membawanya kerumah sakit, kulihat mata dan pipinya basah. Aku yakin dia baru saja menangis.
Fauzi dan Aisyah sudah datang. Fauzi menatapku dengan sinis. Aku paham kalau dia masih tidak bisa memaafkanku. Daripada bertahan diruangan ini dengan atmosfir yang tidak bersahabat, lebih baik aku keluar.
Baru saja keluar dari rumah sakit, kulihat beberapa perawat dan seorang dokter sedang berlari membawa pasien yang tidak sadarkan diri. Aku tidak sempat melihat wajahnya lalu aku menyadari sesuatu saat Mama muncul setelah mereka dengan menangis terisak-isak. Jadi pasien tadi... Papa. Aku segera berlari menyusul mereka yang membawa Papa ke ruang ICU
Papa terkena serangan jantung. Kami tidak bisa masuk kedalam karena saat ini dokter sedang memeriksanya. Aku berdoa agar papa bisa bertahan. Tapi saat dokter itu keluar, dia berkata sudah tidak ada harapan. Jika dilakukan operasi, percuma saja. Kemungkinan berhasil hanya 15%.
"Tidakk.. Dokter tolong selamatkan suamiku." Mama memohon-mohon kepada dokter itu. Sedangkan aku hanya terdiam. Sulit untuk mengungkapkan apa yang kurasakan saat ini. Aku belum bisa memenuhi janjiku. Tapi, karena Nina disini. Aku bisa melakukannya. Aku tak ingin menyesal karena bahkan sampai matipun, Papa tidak melihatku menikah.
Papa sudah dipindahkan kekamar inap. Selang infus dan alat penopang lainnya masih terpasang ditubuh papa.
"Papa sadarlah, bukankah papa mau melihat aku menikah. Bangunlah pa."
Mama masih terus menangis. Aku memeluknya erat. Seandainya aku mendengarkan kata-kata mama dari awal.
***
Aku menemui Fauzi diruangan Nina untuk menceritakan semua hal ini padanya. Meskipun ini bukan lamaran yang romantis, tapi aku serius saat memintanya menjadi istriku secara langsung didepan mereka semua. Bibirnya bergetar, aku tahu semua ini sangat tiba-tiba dan dia belum siap. Tapi aku harap Nina mengerti keadaanku sekarang dan dia memikirkan masa depannya. Aku ingin dia tidak keras kepala lagi.
"Nina.. Berikan jawabanmu!" Perintah Fauzi.
Nina mengangguk pelan. Alhamdulillah, selangkah lagi aku bisa menunaikan janjiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bride (Finished)
RomanceCinta akan hadir disaat kita selalu bersama... "aku tahu, dia itu mimpi yang paling indah, tapi yang paling tidak mungkin terjadi.." Nina "Dia tidak sempurna, tapi mempertahankannya adalah hal berarti yang harus kulakukan sekarang." Iqbal