Hujan turun sangat lebat sore ini. Disebuah pemakaman yang asing, Iqbal dan ketiga anaknya tertunduk menangisi pusara Nina yang sudah ditaburi bunga. Hatinya bagai dihantam palu yang besar saat Ninanya pergi lagi, namun kini untuk selamanya. Saat mereka berdua baru saja menikah, dan kini duka itu ditoreh lebih dalam lagi.
Bagaimana caranya Iqbal bisa melihat senyum Nina lagi? Mendengar suara dan tawanya lagi? Ingin rasanya Iqbal bunuh diri agar dia bisa menyusul Nina disana. Namun, Nina pasti tidak menginginkan hidup Iqbal hancur. Diciumi Iqbal tanah kuburan Nina sambil terisak perih. Siapapun yang melihat mereka, meneteskan airmata merasakan kesedihan yang mereka alami.
"Mama, mengapa mama tinggalin kami?" ujar Arum dengan nada sendu. Arumi tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya memandangi pusara Nina sambil menghapus airmatanya yang selalu mengaliri pipinya.
Iqbal sangat terpuruk, kehilangan Nina sangat berat baginya. Saat dia ingin mencium nisan Nina, seseorang memegang pundaknya dengan tangannya yang mungil lalu menggoyang-goyang tubuhnya dengan lembut agar dia sadar.
"Mas..!" Suaranya begitu lemah dan serak.
Iqbal yang menangis didalam mimpinya terbangun dan melihat Nina sudah siuman dari pingsannya.
"Nina? Alhamdulillah ya Allah!" Iqbal segera memeluk istrinya dengan penuh rasa syukur karena Allah memberinya kesempatan untuk tetap bersama dengan istrinya.
Saat kecelakaan itu hampir terjadi, Iqbal yang keluar dari toko baju melihat Nina yang berjalan dengan lalai dan tidak memperhatikan jalannya. Ibu-ibu yang berdiri tak jauh dari Nina meneriakinya kalau ada mobil yang ingin lewat tapi Iqbal tau Nina tidakmengerti ucapannya sama sekali.
Refleks Iqbal melepaskan begitu saja tas belanjaannya lalu mengejar Nina. Saat mobil itu hampir saja membunuh Nina, Iqbal berhasil menarik Nina kepinggir namun posisi mereka yang tidak seimbang membuat kaki Iqbal tidak bisa menahan pijakannya hingga mereka terjatuh dan kepala Nina membentur ke trotoar.
Nina mengalami pendarahan dikepalanya, hingga Iqbal sangat panik karena Nina pernah terkena amnesia sebelumnya. Beruntung mobil ambulans segera datang dan membawa Nina kerumah sakit. Disepanjang jalan Iqbal tidak henti-hentinya berdoa demi keselamatan Nina.
Sekarang Nina sudab ditangani dokter, mereka mengatakan kondisi Nina tidak begitu buruk namun Iqbal harus menunggunya sadar. Karena kelelahan, Iqbal tertidur disamping Nina dan bermimpi buruk. Dia lega itu hanyalah mimpi, dan berjanji akan menjaga Nina lebih baik lagi.
"Mengapa kau selalu membuatku panik?" Tanya Iqbal.
"Aku suka melihat wajah mas dalam situasi seperti ini!" Canda Nina. "Tenang aja mas, aku gak kenapa-kenapa kok. Cuma pusing sedikit!" Ujarnya. Suaranya pelan sekali.
"Kau akan sembuh sayang. Saat kau sembuh, kita akan pulang ke Jakarta. Jadi, banyaklah istirahat." Iqbal berusaha terlihat baik-baik saja didepan Nina padahal dia sangat khawatir setengah mati.
"Mas, sini kupeluk lagi!" Ujar Nina sambil membuka tangannya untuk menyambut pelukan Nina. Lantas, Iqbal memeluk istrinya itu dengan kuat seakan-akan dia tidak ingin Nina pergi lagi.
***
Sebulan kemudian..
Arum dan Arumi sedang berdandan untuk pergi ke pesta ulang tahun teman sekelas mereka malam ini. Nina menyiapkan gaun yang dibelinya di Jerman untuk dipakai oleh anak-anaknya yang cantik. Hasan hanya duduk diam memandangi kedua kakaknya itu dengan rasa ingin tahu. Hasan memang sedikit pendiam, sifatnya sama seperti Said. Tapi, jika Hasan penasaran, dia akan banyak bertanya.
Arum memakai gaun pink, sedangkan Arumi memakai gaun merah marun. Mereka berdua sangat anggun saat tampak dari cermin. Arum dan Arumi jadi tidak sabar untuk sampai dipesta nanti. Arum akan membayangkan betapa cemburunya Aslan jika ada pria lain meliriknya sementara Arumi berharap ada yang berkesan dihatinya dipesta nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bride (Finished)
RomansaCinta akan hadir disaat kita selalu bersama... "aku tahu, dia itu mimpi yang paling indah, tapi yang paling tidak mungkin terjadi.." Nina "Dia tidak sempurna, tapi mempertahankannya adalah hal berarti yang harus kulakukan sekarang." Iqbal