Indonesia, 2007
Kinara
Masih dengan seragam namun ditutupi cardigan, selepas pulang sekolah aku dan Raka mampir ke Mall untuk memonton film horor. Film itu diawali dengan cerita yang kuat tapi terasa menurun di tiga perempat bagian selanjutnya. Rasa takutku sudah hilang dan aku lebih memperhatikan Raka yang beringsut ke arahku sambil mengutarakan pendapat konyolnya. Sesekali aku tertawa, perasaan ini terasa sangat damai dan benar. Menolak untuk pulang, setelah keluar dari lobi bioskop kami masuk ke toko pernak-pernik lucu. Tempat paling favorite yang aku kunjungi untuk mencuci mata.
Menelusuri rak-rak boneka, tanganku tak bisa terlepas dari kota musik berbentuk hitam bulat dengan ornamen emas dan sedikit mutiara disekitarnya. Aku membalikan kotak musik mencari tombol untuk menghidupkan daya musik. Miniatur cinderella dan pangeran yang saling berdansa perlahan memutari cawan kotak musik.
Raka sering sekali memintaku untuk menemaninya mencari kado atau sesuatu untuk Levina, seperti hari ini sebelum memutuskan menonton bioskop. Aku mengenal sosok Levina dari cerita-cerita Raka, bahwa dia adalah anak teman Raka. Raka emang tak pernah mengutarakan perasaanya secara gamblang bahwa ia menyukai Levina, tapi lelaki mana yang hampir tiap minggu membelikan sesuatu untuk perempuan yang bukan saudaranya? Jauh dilubuk hatiku, aku merasa iri pada orang yang bahkan belum pernah aku temui.
"Udah tahu mau ngasih apa buat Levina?"
"Belum. Kamu aja deh yang pilihin."
"Emang selama ini dia gak protes sama selera aku?"
Raka hanya menggeleng sebagai jawabanya, aku langsung memberikan kotak musik pada tanganya. "Aku suka banget sama ini, mungkin dia bakalan suka juga."
Senyum tipis Raka menghiasi wajahnya begitu melihat benda ditanganya, senyum yang benar-benar jarang sekali ia perlihatkan kepada banyak orang. Aku menahan rasa sedih, ketika senyum itu sering kali bukan ditujukan kepadaku, tapi gadis lain. Seperti dalam hukum ekonomi, akan selalu titik jenuh dalam sebuah aktivitas yang terus menerus dilakukan. Aku rasa Raka mungkin sudah bahagia dengan gadis pujaanya, bukankah aku jug harus bahagia dengan caraku sendiri dengan atau tanpa Raka?
Jemariku mengetuk meja kasir, perasaanku gugup begitu menatap wajah Raka yang sedang serius membayar kotak musiknya. Tapi tekadku sudah bulat untuk menentukan sikap yang pasti, dan jawaban Raka setelah ini adalah penentunya.
"Rak, aku mau nanya pendapat kamu."
Begitu aku bisa menarik perhatianya, aku menelan ludahku. "Kak Arya kemarin nembak aku, menurut kamu gimana?"
"Yang mau jadian sama cowok itu kamu apa aku?"
"Aku lah masa kamu. Homo dong kalo kamu!" Jawabku sengit.
"Terus ngapain tanya pendapat aku? Jangan tanya aku, tanya hati kamu. Yang mau jadian sama dia bukan aku tapi kamu," ujar Raka datar tanpa ekspresi.
Aku membuang mukaku ke arah manapun selain Raka, ada sepercik kecewa atas jawabanya. Aku berharap setidaknya ia menahanku untuk menerima Kak Arya sebagai pacarku.
"Kamu selalu pengen happy ending sama pangeran berkuda putih, kan? Muka doi mirip sama kuda putih, sebelum sama pangeranya itung-itung cicipin dulu kudanya," ucapnya sinis nemerima tinjuan dariku.
Aku merasa pertemanan ini juga terlalu sulit dengan adanya kisah cinta. Aku tidak bisa membiarkan diriku sendiri terobsesi dengan seseorang yang menganggapku sebagai teman. Maka saatnya membuang rasa ini jauh-jauh untuk terkubur bersama perasaan lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Vow (SERIES 2)
ChickLitKINARA HADIKUSUMA. "Apa kabar?" "Bagaimana hidupmu tanpa aku?" "Setiap detak denyut nadiku, Aku selalu memikirkanmu" Kata-kata itu harusnya lolos dari bibirku. Tapi aku tetap berusaha berdiri aku tak akan mengizinkan diriku sendiri berlari kepeluka...