37. A Red Box

29.8K 2.3K 231
                                    



RAKA

Hasil investigasi tim khusus rumah sakit menghasilkan putusan agar aku melanjutkan pendidikan spesialis di rumah sakit lain. Proses mutasi menjadi lebih rumit dari yang aku duga, tapi aku lakukan secepat mungkin. Badanku terasa lelah mengurus semuanya terlebih hatiku terasa hancur saat seminggu yang lalu melihat mobil Kinara yang menghilang dari parkiran kondominium.

Rasanya ingin sekali mengejarnya, tapi aku mencoba menghargai permintaan Kinara untuk memberinya ruang. Komunikasiku dengan anak-anak masih terjalin, tapi Kinara seolah membuat tembok tinggi. Ia hanya menyambungkan teleponku dengan anak-anak, tak lebih dari itu. Berkali-kali aku mengirim pesan, yang hanya dibaca olehnya.

Aku baru sampai gerbang tol Pasteur kemarin jam setengah sebelas malam, rencanaku langsung ke rumah Kinara untuk menepati janjiku pada Janet membacakan dongeng aku urungkan karna sudah terlalu malam. Sebagai gantinya nanti malam aku akan mampir. Aku tersenyum begitu melihat jok belakang penuh dengan barang-barang yang baru saja aku beli untuk Kinara dan anak-anak.

         Diantara belanjaanku tadi siang, bertengger manis kotak merah marun berukirkan nama Kinara diatasnya. Dadaku berdegup kencang sedari pagi gugup sekaligus cemas begitu membayangkan akan bertemu dengan Kinara nanti sore. Gugup seperti seorang bocah yang akan datang kencan ke rumah pacar pertamanya dan cemas atas reaksi yang akan diberikan Kinara. Semoga saja Kinara mau memaafkan kebodohanku kali ini, karna jika tidak entahlah apa yang akan terjadi.

Kakiku menginjak rem begitu melihat sosok dua malaikat kecil sedang terduduk di teras Villa Levina bersama dengan penjaga villa. Jantungku berdegup kencang mencium sesuatu yang tidak beres.

Sang penjaga villa berdiri begitu aku berlari ke arahnya mengabaikan pintu mobil yang belum tetutup dengan benar. Janet langsung berlari dan memeluk kakiku, sementara Jared masih setia duduk di teras. Aku menatap wajah Janet lekat hidung, bibir dan alisnya berwarna kemerahan. Tanda bahwa ia sudah menangis.

"Ada yang sakit?" Tanyaku panik pada Janet yang langsung dijawab dengan gelengan dan telunjuknya mengarah pada kakaknya.

Mataku pun tak lepas dari Jared yang penuh dengan luka juga bekas tanah di bajunya.

"Den, punten ieu Red sareng Anet tadi milarian Den Raka, ku abdi dipiwarang ka lebet teh alim. Ku abdi oge bade diobatan tapi teh hoyong ku Den Raka. Ceunah bade ngantosan Den Raka weh di luar." (Den, maaf ini Red sama Anet tadi nyariin Den Raka, saya udah nyuruh ke dalem tapi gak mau. Saya juga mau ngobatin tapi pengenya sama Deb Raka. Katanya mau nungguin Den Raka di luar.)

Aku mengangguk, penjaga villa ini sudah mengenal mereka karena beberapa kali Jared bermain bersama anjingnya disini dan Janet yang sudah sering memetik strawberry di kebun belakang.

Begitu penjaga villa pergi ke dalam untuk mengambil kotak P3K, aku membawa janet dalam gendonganku mendekati Jared. Dengan hati-hati tanganku mengelus pipi Jared.

"Jared... What happen?"

Cemas dan marah begitu bergejolak di hatiku melihat anakku sendiri terluka. Di pipi sebelah kirinya dan di sudut bibir Jared terdapat goresan luka dengan darah yang masih baru. Lukanya tidak terlalu dalam, tapi aku sangat yakin itu akan perih dalam beberapa hari kedepan.

"Aku ada di pesta ulangtahun Brenda dan aku melakukan apa yang ayah suruh. Ed ada di sana. Aku menghadapinya, mukul dia tepat di mukanya karna dia bikin Janet nangis."

Tanganku mengapit pipi Jared hati-hati, "Oh God... Your face...," desisku.

"Ed pukul aku lebih keras dan melempar aku ke tanah." Cerita Jared terputus saat aku membersihkan lukanya dengan air hangat yang diberikan penjaga villa beserta kotak P3K, "Terus dia mukul aku lagi."

Broken Vow (SERIES 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang