23. Let Him In

30.4K 2.6K 226
                                    


Bandung 2015
Kinara

Berbagai macam pertanyaan berkecambuk di kepalaku. Dadaku serasa diremas saat melihat tatapan kecewa dari Papa, tatapannya lebih menyakitkan dibandingkan dengan tatapannya saat mengetahui aku hamil.

Apa yang Raka lakukan disini? Apa ia berniat mengambil Jared dan Janet?

Aku bersumpah demi Tuhan, jika sampai itu terjadi aku tidak akan segan-segan membawa Double J menjauh dari jangkauan Raka untuk kedua kalinya.

Setelah mengambil kotak P3K di laci dapur, airmataku kembali tumpah saat mencapai meja makan. Aku terduduk lemas di kursi meja makan, rasanya kakiku tak kuat menopang tubuhku. Mbak asih bersimpuh di dekat kakiku, mengusap airmataku. Dari tatapanya aku bisa merasakan dia sama khawatirnya denganku, tapi mungkin ia lebih memilih unguk tidak berkata apapun. Aku menoleh kearah Mbak Asih mencoba tersenyum kaku sambil mengusap kasar jejak airmata di pipiku.

"Mbak tolong liatin anak-anak ya, bangunin terus mandiin mereka tapi jangan sampai mereka turun ke bawah sebelum tamunya pergi. Mereka biarin sarapan di kamar aja."

Aku bisa melihat raut bingung di wajah Mbak Asih, tapi ia mengangguk dan pamit. Pantulan dicermin yang ada di lorong menuju ruang keluarga membuat aku bergedik ngeri. Mukaku benar-benar kacau, mataku rasanya lelah terlalu lama menangis. Memasukan udara sebanyak-banyaknya berusaha menghilangkan rasa gugup dan takut setengah mati.

Begitu akan beranjak ke ruang keluarga, aku melihat Papa berjalan kearah kamarnya. Dengan sisa harga diri dan rasa bersalah kakiku berlari menghampiri Papa mencoba menahanya masuk ke kamar.

"Pah.., Kinara minta maaf tapi tolong ngertiin Kinara... Kinara ngelakuin ini semua bukan tanpa alasan---"

"Kinara Hadikusuma, does the truth weight on your mind? Kalo mama masih ada, dia pasti sekarang sedih liat kamu hidup penuh kebohongan." Mendengar Papa mengungkit mama, jantungku mencelos oleh berton-ton rasa bersalah, "Selama ini yang menanggung rasa sedih bukan hanya kamu! Papa, Double J bahkan ayah dari anak-anak menanggung hal yang sama saat kamu memutuskan untuk menutupi kenyataan kehamilan kamu... Tidakkah kamu merasa lebih egois karna meminta Papa untuk mengerti kamu lagi? Jangan bikin Papah makin kecewa sama kamu."

"Selesaikan masalah kamu dengan pria itu dan jangan ganggu Papa dulu."

Aku mencoba untuk meraih Papa lagi tapi dengan cepat menepis tanganku, tanpa berkata-kata lagi Papah masuk ke kamarnya. Papa adalah satu-satunya orangtuaku yang tersisa, aku tak bisa membayangkan kehilanganya, menghilangkan kepercayaanya bagai sebuah petaka tanpa akhir. AKu bahkan sudah lupa kapan terakhir kali Papa marah besar, saat mengetahui aku hamil saja ia sama sekali tak memarahiku. Malah yang ada ia menangis dipundaku sambil memohoh maaf pada Tuhan karna tak bisa menjagaku dengan benar. Papa adalah sosok orangtua sempurna, aku sudah amat bodoh membohonginya selama tujuh tahun belakang. Aku benar-benar menempatkan Papa pada tempat paling tak berperasaan. Jantungku terlonjak kaget begitu menyadari Papa menutup pintu kamarnya kasar. Aku lebih baik menerima bentakan dan amarah Papa dibandingkan dengan tingkah dinginya terhadapku.

Dengan enggan aku melangkah ke ruang keluarga, menghampiri Raka yang sedang duduk sambil meringis memegang pipinya yang lebam dan sudut bibitnya yang sobek akibat ulah Papah. Menaruh kotak obat di meja dan duduk dihadapannya, hanya dipisahkan oleh coffee table aku memberanikan diri untuk menatap matanya.

"Aku gak mau basa-basi. What do you want?"

"Aku kesini buat ngelamar kamu langsung sama papah kamu."

Aku tertawa kecut dan menggeleng. "Stop joking, Raka."

"I'm not joking! I want you to be my wife, cantiknya Raka."

Broken Vow (SERIES 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang