12 (c) - Jujur Lebih Baik

665 33 0
                                    

Ruangan ini tampak gelap. Hanya ada cahaya dari televisi yang menyala, Radit dan Jean terduduk disofa yang berada didepan televisi. Sebuah drama berputar dengan bebasnya.

Radit terduduk disofa dan Jean berbaring diatas paha Radit, mereka sedang menonton My Lovely Girl milik Kyrstal Jung dan Rain. Ini semua karena paksaan Jean. Katanya, dramanya itu romantis dan Radit kalau ingin belajar romantis, harus banget nonton drama ini.

"Cowoknya kayak cuma suka ceweknya gara-gara ceweknya itu adik dari pacarnya yang meninggal, kasian ya?"

Sedaritadi hanya Jean yang berceloteh ria, Radit hanya menjawab seperlunya seperti iya, tidak, mungkin. Entahlah, Radit mulai bisa mempelajari soal perempuan sedikit demi sedikit. Seperti perempuan itu egois, kebanyakan kosakata yang berbeda arti, punya mood yang berubah-ubah dan banyak lagi kelakuan perempuan yang Radit ketahui sekarang. Dan ajaibnya, semua kelakuan perempuan yang aneh itu, ada di diri Jean, semuanya tanpa terkecuali.

"Ceweknya baperan nih," suara Jean keluar lagi, ketika ada adegan yang menurutnya harus diberi komentar, "Tapi ya cowoknya juga kurang ajar. Cewek mana coba yang gak baper digituin, mana ganteng lagi tuh cowok." Sambungnya.

Kepala Radit menggeleng kuat, "Lo juga baperan. Digombalin dikit aja meleleh. Dasar cewek."

"Emang dasarnya cewek itu baperan, Dit. Cewek kan mainnya pake hati, gak kayak cowo." Cecar perempuan itu yang dihadiahi kerutan kening Radit.

"Sebrengsek apa sih cowok dimata cewek?"

"Gak semua cowok itu brengsek kok."

"Gue brengsek gak?"

"Hm,"

Bola mata Radit membulat, hampir keluar ketika mendengar perkataan Jean. Radit brengsek? Masa?

"Gue brengsek gimana coba? Mainin hati cewek aja gak pernah, yang ada gue mulu yang di mainin," Kata Radit, mati-matian membela dirinya.

"Lo brengsek. Lo mau ninggalin gue, lo sama aja kayak cowok diluar sana. Brengsek."

Oke, lupakan drama yang sedang berputar ria di televisi sana. Dengarkan baik-baik perdebatan antara Radit dan Jean. Radit memijit pelipisnya pelan, pusing menghampirinya.

Semua perkataan Jean tidak ada yang dia dengar dengan jelas. Perempuan itu terus mengoceh tanpa sadar kalau lawan bicaranya tengah memijit pelipisnya sedaritadi. Bukan tanpa sebab Radit merasakan pusing, seharian ini dia tidak menyentuh obatnya sekalipun.

"Lo dengerin gue ngomong gak sih, Dit?" Jean sadar kalau Radit tidak menanggapi obrolannya.

Mata Jean terkunci, menatap Radit yang pucat pasi, "Dit, kenapa?"

"Gue gak kenapa-napa kok,"

"Sakit ya? Apanya yang sakit?" Kata Jean yang merubah posisinya menjadi duduk disebelah Radit.

Lelaki itu mengelak, terus mengelak, "Gue sehat, Jean. Jangan lebay ah."

Tangan Jean terangkat untuk memukul pelan Radit, "Muka lo pucet! Obatnya udah diminum belum?"

Radit menggeleng, membuat Jean memukulnya lagi, "Lo tuh ya, lagi sakit kayak gini tuh jangan ngeyel kek! Mana obat lo? Minum sekarang!"

"Obatnya gue buang."

Jean tersentak, "Dit!"

Lelaki yang dikhawatirkan hanya tertawa kecil, menyinggung kan senyumnya ketika melihat wajah masam perempuan yang berada didepannya.

"Udah gak sakit kok, Je." Elaknya.

  Jean tahu lelaki itu berbohong, wajah pucat pasinya tidak bisa membohongi Jean. Tapi mau bagaimana? Jean hanya bisa memastikan dirinya ada disamping Radit untuk memastikan kalau lelaki itu baik-baik saja.

***

Kerja Jean sedaritadi hanya mengetuk-ngetuk kakinya pada lantai marmer, rasa bosan menghampirinya. Dia dan Radit, tengah terduduk diruang tunggu, menunggu nama Radit dipanggil untuk cuci darah. Memang beberapa hari yang lalu, Jean berkata ingin menemani Radit untuk cuci darah.

"Nanti lo jangan terlalu stres, santai aja. Tutup mata lo bayangin yang enak-enak aja. Ngerti?!"

Suara Jean terlontar begitu saja, ketika pikirannya melayang untuk membayangkan betapa sakitnya Radit harus rutin menjalani cuci darah.

"Iya bawel," Kata Radit yang mengacak-ngacak rambut Jean pelan, "Kalau gue bisa milih, gue maunya dirawat sama lo. Buat apa punya cewek tapi gak bisa dirawat sama dia, rugi."

Jean memicingkan matanya, "Siapa cewek lo? Gue? Nembak aja belum. Ngaku-ngaku." Katanya dengan begitu polosnya.

"Ngebet banget ditembak sama gue, ih. Padahal dengan gini aja gue rasa kalau kita itu terikat,"

Ya ampun, Dit. Jean itu perempuan. Sama kayak perempuan diluaran sana yang mau punya hubungan yang jelas statusnya. Bukan menggantung seperti ini. Sakit tahu.

Hati Jean meringis, "Dede butuh kepastian, Om. Gak suka digantung begini."

"Dih najis, siapa yang lo panggil om? Gue? Padahal masih imut gini, ya kali dipanggil om."

"Ya terus mau dipanggil apa?"

Radit menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, menimbang-nimbang jawaban yang akan dia lontarkan pada Jean, "Panggil sayang aja gimana?"

Tak.
Kepalan tangan Jean mendarat mulus dikepala Radit, membuat lelaki itu mengaduh kesakitan dan mengusap kepalanya. Jean tidak meminta maaf, dia malah mencibir lelaki itu habis-habisan.

Tidak sadar waktu berjalan begitu cepat, sampai beberapa saat lalu, seorang perawat memanggil nama Radit. Jean hanya memandang lelaki itu sendu, dengan bibir yang dipaksakan tersenyum. Memberi semangat pada Radit.

"Jangan nangis,"

Jean menggeleng kuat, dia membalikkan badannya, tidak mau menatap Radit yang menatapnya juga. Dia seorang dokter, dia tahu sesakit apa yang akan Radit rasakan nanti. Dia juga tahu, kemungkinan besar dari penyakit yang Radit alami.

Lelaki itu bisa sembuh, dengan mencari pendonor ginjal yang cocok dengannya. Tapi ingat, mencari pendonor itu tidak semudah mencari permen di warung. Butuh waktu yang lama.

"Gue berharap lo baik-baik aja. Gue berharap yang terbaik buat lo."

***

Terlalu menye gak sih? Ya mungkin efek dari nonton oppa-oppa sama Ahjussi yang cakep indang. Saya jadi terbawa suasana, hihi. Oh ya, jangan lupa vote dan comment yah, saya akan lebih termotivasi dan bersemangat melanjutkan cerita saya ketika kalian menghargai karya saya. Gak susah kan buat saya seneng?

Love, Agnes.

Kamis, 23 Maret 2017
12.43

Tentang Janji [Selesai] #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang