Vote dulu baru baca!
nda mau tau:(
.
.
.
Pagi-pagi sekali, Jean sudah berangkat ke kantor, bergelut dengan kemacetan ibu kota dan berkutat dengan laporan yang belum selesai ia selesaikan. Tidak ada niat sama sekali untuk mengerjakan laporan tersebut didalam ruangannya. Jean memilih membawa laptop dan semua pekerjaannya ke atap kantor dan duduk dibangku taman, ditemani segelas kopi dengan kebulan asap diatasnya.
Entahlah, suasana seperti ini sangat cocok untuk menyelesaikan penatnya pekerjaan kantor, mungkin udara Jakarta tidak sesejuk kota lainnya, pemandangan yang ia lihat dari atap kantor juga hanya jalanan macet dan gedung-gedung menjulang tinggi ke langit, dengan kaca yang yang memantulkan kembali cahaya matahari ke langit.
Terkadang, Jakarta terlalu membosankan dengan kehidupan gemerlapnya. Kadang pula, Jakarta terlalu memuakkan dengan kemacetan yang menjadi makanan setiap hari untuk orang yang memilih tinggal dikota ini.
Malah, Jean pernah berpikir untuk menjadi Gubernur kota Jakarta, rasanya dia ingin mengubah Jakarta menjadi kota yang layak huni, tapi ada daya Jean? Dia hanya perempuan biasa dengan imajinasi yang tinggi tanpa bisa mewujudkannya. Anggap sajalah dia sedang bermimpi.
Gerakan tangannya di atas keyboard laptop terhenti dan melirik sekilas pada handphone yang bergetar diatas meja, "Halo?" katanya.
"Ini siapa?" tanyanya begitu orang yang melakukan panggilan padanya tidak mengatakan sepatah katapun padanya.
"Kalau nggak penting, tolong jawab ganggu kayak gini dong." Celanya.
Dan langsung saja Jean mematikan panggilan teleponnya dan melanjutkan lagi pekerjaan yang harus dia selesaikan, namun lagi-lagi handphonenya bergetar dan menampakkan nomor yang tadi meneleponnya. Apa sih maunya? Diangkat tapi tidak berbicara sepatah katapun padanya. Kalau mau mengerjai, ini sama sekali tidak lucu.
"Sekali lagi telepon tapi nggak ngomong apa-apa sama sekali, saya nggak bakal angkat teleponnya walaupun itu penting. Ganggu tahu ngak." Kata Jean terus terang pada si penelepon di seberang sana.
Bukannya mengatakan sebuah kata saja, orang itu hanya menghembuskan napasnya. Tertawa kecil lalu mematikan sambungan teleponnya. Ini sangat menakutkan, bagaimana bisa seseorang meneleponnya lalu tertawa kecil, tawa yang terdengar sangat menakutkan, seperti seorang pembunuh yang puas menemukan mangsanya. Tapi tunggu—suara tawanya seperti suara seorang perempuan. Iya, telingan Jean tidak salah dengar!
Itu suara seorang perempuan!
Tapi siapa? Kenapa dia berlaku layaknya seorang psikopat pada Jean? Tiba-tiba saja pundak Jean bergidik ngeri karena kejadian tersebut, ditambah lagi dia sedang berada diatap tanpa ada seorangpun kecuali dirinya disini. Bagaimana kalau orang itu datang kesini lalu mendorongnya dari atap kantor? Ih! Tidak, tidak. Jean masih mau hidup, masih mau ketemu Mamah, Papah sama Radit.
Karena ketakutannya itu, Jean merapihkan pekerjaanya lalu memilih untuk masuk ke ruangannya. Dia tidak mau mengambil resiko untuk melanjutkan pekerjaanya di atap lalu mendapat teror lagi. Saat dia terburu-buru masuk ke dalam ruangannya, Jean bertemu Ana yang baru keluar dari ruangannya.
"Lo kenapa lari-lari gitu? Kebelet pipis?"
"Bukan! Diatas dingin banget, gue gak kuat. Gak ada yang meluk juga diatas jadinya dingin banget, hehe." Keliahatan banget tidak sih kalau Jean sedang menyembunyikan sesuatu? Matanya menatap objek lain saat berbicara dengan Ana.
Dan untungnya perempuan itu percaya dan melanjutkan jalannya.
"Laporan yang kemarin jangan lupa lo kasih siang ini ke gue, Na!" jeritnya dan mendapatnya acungan jempol dari Ana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Janji [Selesai] #Wattys2018
Novela JuvenilHighest Rank: 542 in Relationship 16/06/18 Perkara janji yang selalu dengan mudahnya di ucapkan oleh banyak orang dan berakhir dengan semu semata. Bagaimana kalau janji itu tulus diucapkan namun suatu hal yang buruk harus terjadi dan janji itu berak...