13 (b) - Edelweiss dan Dandelion

749 38 4
                                    

Jean tengah bersandar ditembok bercat putih, tepatnya didepan ruangan dimana Radit dirawat. Jantungnya serasa akan copot ketika mendengar bahwa Radit harus dirawat karena kondisi ginjalnya yang memburuk.

Persetan dengan itu semua. Kata dokter, Radit seperti ini karena dia tidak meminum obatnya. Bodoh sekali lelaki itu. Jean mengutuk lelaki itu dengan beribu makian yang sebenarnya ada beribu rasa khawatir terselip didalamnya.

"Gue harus gimana,"

Hati kecil Jean terus berteriak, terlebih lagi, Dokter berkata kalau Radit harus mendapat donor ginjal. Ini seperti mimpi buruk yang menghampirinya lagi. Memang, tidak dalam waktu dekat ini Radit harus mendapatkan donor, tapi nama Radit sudah tercatat sebagai penerima donor. Ingat, mencari pendonor tidak semudah yang dibayangkan.

Beberap saat yang lalu, Jean menelepon Ana dan beberapa saat yang lalu juga dia memutuskan untuk bertemu sahabatnya itu, dia harus mencurahkan semua keluh kesahnya pada sahabatnya itu.

Soal Radit, dia sedang berbicara dengan sahabatnya, Jo. Entah pembicaraan apa yang dilakukan kedua lelaki itu, Jean sama sekali tidak boleh mengetahui hal itu oleh Radit. Katanya, urusan lelaki.

Jean sudah melenggang pergi dari depan ruangan Radit, menuju cafe yang berada didepan rumah sakit ini untuk bertemu Ana.

Sedangkan di ruangan Radit, terlihat Jo yang memasang wajah seriusnya ketika mendengar Radit berceloteh panjang lebar.

"Gue sayang dia, Jo. As you know, tapi mau gimana? Gue takut kalau gue akan nyakitin dia, itu bikin gue ngerasa gak berguna banget buat dia."

"Lo itu--. Ah! Gue bingung harus gimana!"

Suara Jo terdengar begitu pasrah, sampai dia menundukan kepalanya, "Gini loh, Dit. Kenapa dari awal lo gak bilang sama gue kalau lo sakit, kenapa baru sekarang, saat keadaan lo itu sekarat. Mati aja lo sekalian!"

"Santai. Bentar lagi gue mati."

Jo mengerang, melemparkan kulit pisang kearah Radit, "Goblok. Lo mau berjuang buat cewek lo, tapi lo sendiri nyerah begini. Dasar, goblok." Dua kali, Radit menghitung berapa banyak kata kasar yang keluar dari mulut Jo.

"Sekali lagi katain gue goblok. Gua kasih piring cantik, Jo."

Tidak ada tawa dari mulut Jo, dia berdecak, "Mama Leni sama Papah Reno udah tahu keadaan lo?"

Kepala Radit menggeleng, dia punya alasan kenapa dia tidak memberitahu tentang keadaannya pada dua orang yang sangat berharga baginya.

"Gue gak mau mereka terbebani dengan keadaan mereka, ini udah saatnya mereka leha-leha."

Jo tahu, Radit ingin orang tuanya tidak terbebani dengan keadaannya. Tapi mau bagaimanapun, kedua orang tua Radit harus tahu keadaan Radit. Mereka--kedua orang tua Radit--akan lebih kecewa ketika mendengar fakta menyedihkan anaknya dari orang lain.

"Kapan lo akan cerita sama orang tua lo? Inget, mereka berhak tahu keadaan lo."

Mengingat tentang orang tua, Radit tak sampai hati kalau harus mengatakan hal ini kepada kedua orang taunya. Membayangkan wajah kedua orang tuanya khawatir, Radit tidak akan bisa memberitahu hal ini pada mereka.

"Lo jangan batu. Kasih tahu orang tua lo, kalaupun itu bikin mereka khawatir, setidaknya mereka tahu." Jo berkata seperti ini, ingin Radit lebih terbuka kepada orang tuanya.

Walau tidak yakin, Radit menghembuskan napas, "Liat nanti aja,"

"Oke terserah. Tapi gue mau tanya, kenapa cewek lo duluan yang tahu lo sakit, ketimbang gue ataupun orang tua lo. Najisin banget lo jadi orang," Kata Jo dengan kerlingan matanya yang menjijikkan.

Tentang Janji [Selesai] #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang