First Day in Bali

60K 3.2K 68
                                    

Revan's POV

Sial! Apa yang kulakukan semalam membuatku malu untuk bertemu gadis cerewet itu. Bagaimana tidak, semalam rencanaku untuk memberi kemeja padanya, justru merembet ke hal-hal lain.

Semacam ada setan yang merasuki otakku, ketika aku kedinginan semalam. Dan semacam ada gairah yang tak bisa kutahan ketika aku melihatnya membuka pintu kamarnya menggunakan kaos putih tipis dan celana super pendeknya.

Alhasil? Aku memeluknya erat dan menciumnya kasar.

"Sorry, gue lepas kendali," kataku--ketika aku mendapat kesadaranku kembali, setelah menciumnya bermenit-menit.

"Gue--ya, gue juga lepas kendali tadi," balasnya sembari menunduk--menyembunyikan semburat merah di pipinya.

"Gue.."

"Gue.."

Kami berucap bersama, menimbulkan aura kecanggungan yang luar biasa. Aku mengangguk ke arahnya, memberi isyarat agar dia berbicara dulu.

"--Gue tidur dulu," ucapnya.

"Iya, gue juga mau ke kamar dulu." Secepat kilat, aku pergi dari kamarnya dengan rasa yang luar biasa aneh.

Argggh! Aku frustasi mengingat bagaimana ia melingkarkan tangan di leherku. Terkesan natural dan tak penuh nafsu seperti yang Tamara lakukan dulu.

Dan aku tambah gila ketika mengingat bagaimana ia membalas ciumanku. Bibirnya terkesan kaku dan sangat lembut. Tak seperti bibir Tamara yang sudah mahir berciuman, dan tak bertekstur selembut bibir Nina.

Oh--apa aku baru saja membandingkan mereka?

*

Pagi harinya, aku telah bersiap tuk melakukan survey dan bertemu dengan beberapa arsitek yang akan menangani proyek resort keluargaku--yang akan kukelola nantinya ini. Sejujurnya, aku masih terlalu gugup untuk keluar kamar dan bertemu dengan si kelinci cerewet itu. Tapi bagaimana lagi aku harus menghindar, sementara dia adalah asistenku?

Jika waktu bisa diulang, aku tak akan pernah membelikan kemeja untuknya, sehingga aku tak perlu terjebak di kamarnya, dan melakukan adegan 'hampir +18' bersamanya.

Tok tok tok... Sial! Ada yang mengetuk pintu kamarku. Semoga itu bukan di-- "Revaaaan!" panggilnya.

Nah kan, seolah doaku kurang ampuh pagi ini. Si gadis cerewet itu justru mengetuk pintu kamarku di saat aku belum siap bertemu dengannya.

"Revaaan! Bangun oyyy!" Teriaknya dari luar pintu.

"Iya! Gue udah bangun!" balasku.

"Ya bukain dong. Keluar sinih, kita sarapan."

Sarapan? Bahkan aku paling benci dengan yang namanya sarapan. Tapi ia malah menyuruhku sarapan. Zzzz.

Dengan enggan, aku membuka pintuku. Dan...

Dan astaga. Aku sempat terkesima melihat gadis di depanku. Ia memakai kemeja flannel pemberianku, dan itu membuat hatiku bergetar, seperti ada perasaan bahagia setelah tau ia menghargai apa yang telah kuberi.

Tak seperti Tamara. Dulu, ia hanya menuntut dan meminta. Tapi setelah kuberi, seringkali ia menjual hasil pemberianku, dengan alasan apa yang kuberi ternyata tidak cocok untuknya.

Astaga, aku membandingkan mereka lagi?

"Revan!" Ia menyentil dahiku, membuatku mengaduh. "Gue panggilin lo berulaaaang kali, tapi lo diem aja sih? Ngelamun atau kesambet?"

Sialan. Tampan gini dikata kesambet. "Nggak kok,'' balasku singkat.

"Bagus deh, gue kira lo kesambet leak."

(Un)perfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang