Author's POV
Air matanya terus mengalir, membasahi kedua pipinya yang mulus nan cantik. Usai mengalami masa-masa kritis akibat tembakan dari si wanita ular itu, Nina harus mengalami fase sulit, dimana ia harus dioperasi berulang kali untuk mengeluarkan peluru yang tertanam dalam tubuhnya, dan untuk memulihkan kembali kondisinya.
Gadis itu sudah sadar. Tetapi gadis itu tetap memejamkan mata, bersikap seolah ia masih berada dalam fase pingsan. Menurutnya, seperti ini lebih baik. Bahkan lebih baik lagi jika ia pingsan selama-lamanya. Dalam arti, ia tak hidup lagi. Dalam arti, ia pergi jauh ke tempat yang tak mungkin orang mencari.
Aku kehilangan bayiku. Aku kehilangan harta paling berharga, yang bahkan belum pernah kusentuh dengan tanganku sendiri.
Ya, Nina mengalami keguguran.
Tembakan demi tembakan itu, berhasil melumpuhkan janinnya, dan membuat para medis mengeluarkannya dalam kondisi sudah tak bernyawa lagi.
Sekarang? Apa yang aku harapkan? Suami? Cih. Bahkan aku sudah tak sudi lagi melihat wajahnya. Aku... Sangat. Membencinya.
Nina membenci Revan kini. Sungguh-sungguh membenci. Nina ingat sakit hati yang ia alami ketika melihat Revan dan Tamara berciuman di rooftop. Ia ingat beberapa detik setelahnya, wanita itu menembakkan peluru ke arahnya. Dan pada saat itu, Revan tak melakukan apa-apa sedikitpun. Ia hanya berteriak agar Nina bangun, dan itu sama sekali tak membantu.
Dan kini.... Nina mendengar banyak suara di depan ruangannya. Ada suara sang mama mertua yang menangis. Ada suara teman-temannya yang turut prihatin menanti kapan Nina akan sadar. Dan ada suara Aira yang tengah bertengkar dengan Revan.
"Lo terlambat, Van! Gue udah pernah bilang, kan, kalau si cabe tuh cuma mau manfaatin lo! Bahkan lo rela ninggalin Nina yang memang benar-benar hamil, demi nikahin Tamara yang pura-pura hamil. Gue udah bilang sejak awal kalo cabe pasti gak hamil. Dan lo gak percaya, kan?"
"Gue kalut waktu itu, Ra.."
"Lo tuh jadi cowok emang gak punya pendirian. Gak jantan, tau gak! Dan sekarang, setelah lo tau semuanya, lo benci sama Tamara? Dan lo mau balik ke Nina, gitu? Kayaknya Nina gak bego-bego amat deh, dia pasti udah ogah setengah mati sama lo, apalagi lo--"
"Ra! Lo gatau apa-apa. Please jangan pojokin gue. Waktu itu gue beneran di cium sama dia, dan gue gak bisa apa-apa lagi selain ngebalesnya. Dan asal lo tau, gue sayang sama Nina, Ra. Cuma... Ya, gue sadar saat semuanya udah terlambat. Andai gue tau tentang jus nanas dan tentang rencana Tamara, gue gak akan ngebiarin itu terjadi!"
"Terus sekarang lo mau apa? Nina pasti bakal shock berat kalau tau kandungannya udah gak ada. Dia pasti bakal benci banget sama lo!"
"Gue tau kok. Dan bukan cuma dia. Gue sendiri juga benci sama diri gue yang terlalu tolol dan naif. Yang bisa gue usahakan sekarang, berusaha yang terbaik buat dia."
"Kalau dia udah gak mau?"
"Pokoknya gimanapun, gue bakal ada buat dia. Gue gak bakal ninggalin dia, meski dia sama sekali gak mau liat gue lagi."
"HAHAHA bullshit, Van. Jujur ya, omongan lo udah susah dipegang! Lo bukan sahabat gue yang gue kenal lagi, Van."
"I'll prove it, Ra. Gue bakal ubah diri gue, demi Nina, dan demi keluarga kecil gue."
"Hmm.. Jujur ya, Van, gue kasihan banget sama Nina kalo dia masih mau sama lo. Gue bakal lebih seneng dan bahagia, kalau Nina gak mau terima lo lagi."
"Gue tau kok. Makanya gue mau berubah. Minimal, Nina bisa bahagia sama gue lagi."
Mendengar percakapan dan riuh di luar sana, Nina tersenyum kecut.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)perfect Marriage [END]
RomanceKarina Tessa Ananda : Tak tau bagaimana, tiba-tiba aku merasakan cinta begitu dalam pada pria yang sama sekali tak menginginkanku. Aku tau, mungkin saja pernikahanku dan dia akan berakhir buruk. Tetapi--entah kenapa, aku selalu ingin memperjuangkan...