Seperti sebuah kata yang tak bisa terucap, dan seperti sebuah cinta yang tak pernah bisa ada. Apakah mereka harus memaksa untuk bersama? Bersama, bila berakhir bahagia. Atau... bersama, jika akhirnya menimbulkan luka.
"Revan? Gue mau ngomong."
"Gue juga mau ngomong."
Suasana mendadak hening dan menegangkan. Revan dan Nina, berhadapan sembari bertatapan dengan canggung. Dan keduanya pasti tau kemana arah pembicaraan mereka. Keduanya pasti tau kalau ada sebuah hal penting yang harus mereka pastikan saat ini juga.
Mengenai masa depan mereka.
Mengenai sebuah jenjang yang semua orang idamkan, berselimut kata 'pernikahan'.
Pernikahan yang seharusnya terjadi diantara dua insan yang saling mencintai. Pernikahan yang seharusnya terjadi manakala cinta bersemi.
"Lo... setuju?" tanya Nina hati-hati.
Revan menghela nafas. "Nggak tau. Pertamanya gue kaget, ternyata mama dan semua temen-temen kita merencanakan itu semua. Kalau gue nolak, gue bakal nyakitin mama dan juga orang-orang yang sayang sama gue.."
"Jadi?" Nina menyipitkan matanya. "Lo menerima?"
Revan tersenyum getir, sambil menyesap teh hangat yang ia genggam erat-erat. "Tapi kalau menerima, gue takut kalau lo bakal sakit hati."
Pernikahan tanpa cinta, bukanlah hal mudah. Jika hati kosong, maka semua akan terlihat biasa saja, karena kita tinggal menyesuaikan dengan siapa pengisi hati kita. Tapi jika hati tersebut masih ada yang mengisi, pernikahan seperti apapun, tak akan ada gunanya.
Jika masih mencintai seseorang, mustahil bagi Revan tuk bisa menerima cinta di hatinya.
"Kalau lo sendiri?"
Nina menatap langit-langit villa yang mulai dihinggapi titik-titik hujan. "Gue? Gue... mungkin menerima?"
"Semudah itu? Kenapa?"
"Karena... Gue memimpikan sebuah pernikahan, Rev. Pasti bahagia."
Revan menggigit bibirnya. "Meski lo gak menikah sama orang yang gak mencintai lo?"
Tak terasa, air mata hinggap di pelupuk mata Nina. Apakah itu ungkapan hati seorang Revan? Jika iya, mengapa rasanya sesakit ini?
"Nggak tau," jawab Nina dengan wajah seceria mungkin. "--tapi banyak yang bilang kalau cinta datang karena terbiasa, kan?"
"Tapi kalau ada satu pihak yang masih menutup hati, apa kata-kata seperti itu mampu untuk menumbuhkan cinta?" balas Revan, begitu puitis.
"Maksudnya?"
Dengan pelan, tangan Revan mulai maju dan menggenggam jemari milik Nina yang berukuran jauh lebih kecil dari jemarinya. "Nin?"
"Umm.. ya?"
"Kalau semua terjadi atau dengan kata lain... kita benar-benar menikah... Apa lo siap? Siap dalam arti lo harus menghadapi gue yang super cuek dan super moody setiap harinya? Siap untuk menghadapi gue yang mungkin gak akan jadi suami seperti yang lo idamkan karena sejujurnya gue belum sepenuhnya ngelupain Tamara. Apa lo siap?"
Revan, Revan... Sakit banget ya?
Gue paham sama perasaan gue. Kayaknya gue udah suka sama lo, sejak lo minta ijin buat peluk gue? Atau malah sejak lo ngatain gue payah karena gak bisa minum alkohol? Gue gak tau. Yang jelas, gue udah sayang sama lo dari lama.
Aneh ya?
Tapi memang cuma lo yang bisa bikin gue ngelupain One Direction dan lain-lain. Cuma lo yang bisa bikin gue gemetar dan deg-degan di waktu yang sama.
Dan saat lo bilang kalau lo belum lupain mantan lo... Jujur, gue gak tau harus gimana. Sakit ya?
Nina memaksakan diri untuk mengangguk mantap. "Ya gue siap sih.."
"Yakin?"
"Iya, yakin."
"Kalau gue cuek, kalau gue gak pulang, kalau gue gak makan masakan lo, kalau gue gak jadi seperti apa yang lo mau?"
Nina menghela nafasnya. "Gue siap. Karena apa? Mungkin ini terdengar menggelikan. Gue pun udah gak peduli kalau lo bakal anggep gue creepy atau apapun. Gue ngerasa kalau gue bisa bikin kita sama-sama saling mencintai. Dan gue ngerasa, lo bisa lupain mantan lo pelan-pelan."
"Lo be--"
"Asal..." Nina memotong ucapan Revan, lagi. "Asal, lo bisa jalanin peranan lo sebagai suami yang normal. Begitupun dengan gue, gue harus jalanin peran sebagai istri yang normal."
"Nor--"
"Bentar, Rev, Biarin gue ngomong dulu," titah Nina kesal.
"Okay, okay."
"Kita harus saling menghargai, saling menghormati, dan saling menjaga perasaan. Gak cinta bukan berarti gak bisa jaga perasaan kan? Gue jaga perasaan lo dengan cara gak bergaul terlalu dekat dengan cowo lain, dengan siapin semua kebutuhan lo, dengan kerjain apapun yang seharusnya seorang istri. Dan lo jaga perasaan gue dengan anggep gue sebagai istri lo, hargain gue, dan lakukan apa yang menjadi kewajiban seorang suami."
Nina menghela nafas lagi. "Minimal, kalau lo gak bisa anggep gue seorang istri.... Anggeplah gue sebagai sahabat seumur hidup lo."
Apa gue yakin bisa seumur hidup sama Nina?
Gue yakin, gue sama Revan pasti bisa saling sayang, suatu hari nanti.
Apa gue bisa ngehargain Nina sebagai istri gue?
Gue tau, Revan cukup pintar dalam bertindak. Tanpa gue arahkan, dia pasti bisa menempatkan dirinya sebagai sosok suami buat gue.
Apa gue harus ngelanjutin semua ini?
Gue yakin, suatu saat, hari indah dimana Revan bisa sayang sama gue, bakal terjadi.
-----
Haloo :")
Ini verrryyyyy10000x short chapter! Tp gak apa-apa yaa? Aku janji part besok akan panjang dan menyenangkan :'333
Enjoy, vote, dan komen apapun yaaa! :p Karena ini part pendek, jadi yhaaaa 20 vote, aku akan lanjut ;)
Aku akan update lg hari kamis, mungkin? Karena aku uas sampai kamisss. Doakan yaa!
Oh ya, follow wattpad: evndya , ig askfm line: ervinadyp. Kalau kalian minta, aku pasti akan follback. Dan kalau kalian chat aku di line, aku juga akan dgn senang hati balas.
Makasiiih, have a niceee saturday nighttt! have a great date, hv a great movie watch, or hv a great thing on all of u activity. For me too :p Xoxo
-evndya
12-12-2015
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)perfect Marriage [END]
RomanceKarina Tessa Ananda : Tak tau bagaimana, tiba-tiba aku merasakan cinta begitu dalam pada pria yang sama sekali tak menginginkanku. Aku tau, mungkin saja pernikahanku dan dia akan berakhir buruk. Tetapi--entah kenapa, aku selalu ingin memperjuangkan...