Broken into pieces

60.8K 3.5K 112
                                    

Hai! Aku update yaaah. Hihi maaf lamaaa :p 

Untuk part selanjutnya, aku minta 370 votes, dan jgn lupa komen juga yaah. hehe aku mematok vote supaya aku makin semangat, dan supaya kalian semua memberi apresiasi tentang cerita abalku ini. :) next part bakal sooo baper:"""

So... happy reading, semoga kalian suka! Xoxo

*

*

Revan's POV

Hari ini, isteriku sudah diijinkan pulang. Aku sangat senang. Dan aku juga tau jika ia bahagia, terlihat dari manik matanya. 

Bayanganku melebar kemana-mana. Dimana seusai Nina kembali ke rumah, suasana rumah akan kembali ramai dan penuh dengan tawa peri mungilku itu. Dimana tiap bangun tidur, ada tangan kecilnya yang bertengger di atas perutku.

Tapi semua bayangan itu musnah, semua sirna. Ketika dia mengatakan sebuah hal, yang membuatku merasa hampa seketika. Membuatku merasa terbunuh oleh kata-katanya.

"Gue gak mau tinggal sama lo!" katanya tegas, tepat di depan wajahku.

"Kenapa? Kita suami isteri, kan? Masa iya gak mau tinggal bareng?"

Dia mencibir dengan wajahnya yang datar. "Suami isteri yang sebentar lagi akan bercerai. Oke?"

"Kita gak akan cerai, Nin. Kita akan bareng terus."

"Apaan sih? Males banget, idih!"

Aku hendak menggapai tangannya, tapi ia menepis dengan cepat. Guratan marah tergambar di wajahnya. Bahkan guratan kesedihan dan kekecewaan yang biasa kulihat di wajahnya, sudah tak ada lagi.

"Eh!" Nina memanggilku. "Gue masih numpang di rumah lo tapi ya, buat beberapa hari, sampai pembelian rumah baru gue selesai."

"Gak perlu, Nin. Itu bukan rumah gue. Tapi itu rumah kita," kataku, mencoba membuatnya mengerti. 

"Rumah kita? HAH. Pake aja tuh rumah buat lo sama Tamara!"

"Gue maunya sama lo!"

"Tapi gue udah gak mau sama lo." Nina tersenyum kecut, sambil membereskan barang-barangnya. 

Bahkan aku tak pernah menyangka... Pada akhirnya, ia yang akan meninggalkanku. 

*

*

"Udah siap buat pulang? Sini aku bantu bawain barang-barang ke mobil," tawarku.

Baru saja aku mau mengangkat kopernya, tangan Nina bergerak mengambil koper miliknya. "Gak usah. Gue bisa sendiri."

"Lah? Sama aja kan, tujuannya kan kita bawa barang kamu ke mobil?"

"Mobil? Mobil siapa, ha?" 

"Mobil kita, sayang."

Nina menyipitkan matanya. "Jangan panggil gue kayak gitu. Gak sudi! Dan by the way, gue gak pulang sama lo. Jadi lo bisa pulang duluan."

"Terus, kamu pulang pakai apa?"

"Kepo banget sih! Bukan urusan lo! Pulang sana."

Aku menggeleng. "Gak. Aku akan nunggu sampai kamu naik mobil. Jadiaku bisa pastiin kalau kamu udah aman."

"Terserah."

*

*

Aku dan Nina berada di lobby rumah sakit. Aku duduk di sebelahnya--eh, maksudku, tiga kursi setelahku baru ditempati olehnya. Tadi, aku sempat bergeser agar aku berada tepat di sebelahnya, tapi yang ia lakukan justru bergeser dan bergeser lagi agar makin menjauh dariku.

(Un)perfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang