Revan's POV
Hari ini--seharusnya menjadi hari yang paling bahagia untukku. Aku wisuda, menerima toga atas hasil kerja kerasku bertahun di kampus tercinta.
Seharusnya aku bahagia. Bisa diwisuda, didampingi oleh sang isteri tersayang.
Tapi lagi-lagi... Semua hanyalah angan. Semua tinggal kenangan. Tinggal bayangan. Hanya mama dan papa yang berjanji akan datang. Sementara Nina? Ingin tahupun sepertinya tidak.
Ya, aku tetap tak bisa menyalahkan. Segala kelakuannya padaku sekarang, adalah apa yang harus kuterima karena perbuatanku di masa lalu, kan? I think, i got a karma now.
Aku melihat isteriku keluar dari kamar tamu, dengan dress batik miliknya. Ia tampak sangat cantik--dan payah, aku baru sadar sekarang. Apa dia akan datang ke acara wisudaku? Hatiku sudah berbunga-bunga.
"Kamu kok rapi banget? Mau ke wisudaku, ya? Aku seneng banget loh kalo iya." Aku yang sudah siap, kini ikut duduk di meja makan, dan mengikuti gerakannya untuk mengambil roti dan selai kacang.
Seperti biasa, wajahnya tetap datar. "Ngapain sih lo kesini? Bikin gue gak napsu makan aja." Katanya, sambil mengembalikan rotinya yang baru beberapa kali digigitnya.
Bahkan aku seperti mengandung bakteri ecoli, yang membuatnya mual dan malas makan.
"Dan for your information, gue memang mau datang wisuda. Tapio wisudanya Elang--dan bukan lo," katanya sadis.
Aku tau siapa Elang. Kemarin, aku bertanya pada Aira dan ia menjelaskan bahwa Elang adalah sahabat Nina semasa SMA. Seharusnya aku tidak cemburu. Tapi, naluri seorang suami tetap ada. Dimana seharusnya isteriku datang mendampingi, tetapi dia justru datang untuk orang lain.
"Tapi kamu mau kan, foto sama aku habis wisuda nanti? Aku pengen paling nggak, kita punya kenangan waktu aku wisuda," ucapku jujur.
"Sayangnya enggak mau. Maaf ya."
Deg.
Aku selalu mendapat penolakan darinya. Dan sejujurnya, ini adalah hal-hal yang sangat menyakitkan.
Dengan pelan, kuarahkan kamera ponselku ke arah isteriku yang sedang terbengong menunggu jemputan. Dan 'ckrek' aku mendapat fotonya.
"Nggak usah fotoin gue bisa gak?!" tanyanya sinis.
Aku diam saja. Yang penting, nanti sepulang acara, aku bisa meminta tolong pada Ken untuk mengedit gambarku dan gambarnya menjadi satu. Pintar kan ideku? Ya, ya, ya, ide yang hanya dilakukan oleh orang berkondisi miris dan mengenaskan sepertiku.
*
*
Author's POV.
Dari kejauhan, Nina bisa melihat Revan yang berkumpul dengan teman-temannya--memakai toga tentunya. Apa dia bangga? Ya, dalam hati, Nina sangat bangga. Sangat luar biasa bangga--karena Revan yang terkenal bandel, bisa menyelesaikan studinya paling cepat daripada teman-temannya yang lain. Tapi di samping itu, jika ingat semua, Nina kembali terbakar amarah dan dendam.
Dan kini, mata Revan menangkap Nina yang sedang memperhatikannya. Dengan tergesa, Nina segera memalingkan wajah, dan kembali mengobrol bersama Aira dan Elang.
"Nin, lo ngerasa gak sih kalau lo nyuekinnya keterlaluan?" Aira tiba-tiba berkata demikian, membuat Nina terheran seketika.
"Lah, lo ngerasain gak, gimana sakitnya jadi gue?"
"Tapi dia tuh suami lo, Nin. Minimal ya dateng kek, duduk di deketnya gitu, kan dia juga diwisuda."
Nina memutar matanya. "Mau wisuda kek, mau ngapain kek, gue gak bakal peduli."
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)perfect Marriage [END]
RomanceKarina Tessa Ananda : Tak tau bagaimana, tiba-tiba aku merasakan cinta begitu dalam pada pria yang sama sekali tak menginginkanku. Aku tau, mungkin saja pernikahanku dan dia akan berakhir buruk. Tetapi--entah kenapa, aku selalu ingin memperjuangkan...