After Married (1)

50.4K 2.1K 34
                                    

Kalian paham, kan, bagaimana rasanya jika perjuangan demi perjuangan yang kalian lakukan, pada akhirnya membuahkan hasil yang bahkan lebih lebih lebih dari apa yang dibayangkan?

Demikian yang Nina rasakan.

Jika kalian membaca lembar demi lembaran Nina sebelumnya--kalian pasti akan tau, bagaimana mati-matian Nina berjuang tuk bangkit, bagaimana rasanya ingin menyerah karena sesuatu yang buruk terus menimpa.

Nina ingat... Revan sempat hendak menceraikannya demi wanita lain yang mengaku hamil karenanya. Ninapun ingat, saat ia tengah terpuruk, kemudian tertembak dan nyaris mati, tapi, bayinya lah yang pergi. Ya, mengenaskan rasanya. Hingga kisah marahnya pada Revan--dimana semua pihak yang awalnya membenci Revan--menjadi simpatik karena Revan sungguh bertaubat, tapi Nina yang justru pergi meninggalkan. Hingga tragedi demi tragedi terjadi. Revan lumpuh total. Dan usai itu, Nina menyadari bahwa ia memaafkan lelaki itu. Dan--mukjizat terjadi. Revan sadar. Nina mengandung. Mereka berdamai.

Memang, bayi kembarnya sudah tak ada lagi--tinggal menyisakan satu, yaitu Adam yang kini menjadi penenang keluarga mereka. Tapi bagi Nina, tak ada yang perlu disesali. Berada di antara Adam, dan Revan-- yang kini sungguh baik--,sudah merupakan anugerah terindah bagi seorang Nina. 

Dan dilembaran baru ini... Nina ingin sedikit  berbagi cerita, mengenai kebahagiaannya. Agar kebahagiaan keluarganya tak hanya sampai titik tertentu, tetapi juga abadi.

Seperti saat ini... Nina terbangun, dan mendapati Revan masih tertidur pulas, bersama dengan Adam yang usianya baru menginjak enam bulan. 

"Sayang? Ayo bangun," kata Nina, mengusap puncak kepala Revan agar ia membuka matanya. 

"Enggh... Jam berapa sayang?" tanyanya lemas. 

"Masih jam lima sih. Masih pagi.. Tidur lagi juga gak apa-apa."

Revan kini bangkit dari kasur, dan mencium kepala Nina cukup lama. "Mumpung ini hari Sabtu... Kita jalan-jalan aja, yuk? Jalan pagi gitu, sama Adam juga."

"Mau? Tumben suamiku mau olah raga?" ledek Nina.

"Iya, dong. Kan resolusi, sayang. Mulai sekarang, aku mau olahraga, biar sehat, terus bisa hidup sampai tua sama kamu, Adam, dan...."

"Siapa?"

"Calon anak kita kelak lah, sayang.."

Nina meneguk ludahnya. "Mau lagi?"

"Mau lah."

"Berapa?"

"Empat lagi, ya, sayang?" pinta Revan dengan wajahnya yang.... di imut-imutkan, tapi ya memang dia imut sih. Gimana dong?

"Eh, enak aja. Satu lagi aja!" kata Nina, ganas.

"Empat sayangg. Empaaat..."

Nina menggeleng. "Lo sih enak. Nah gue sembilan bulan susah gerak, terus nangis darah pas ngelahirin."

"Aaaah empat sayang.."

"Gak ada empat-empatan. Satu--atau gak sama sekali!" ancam Nina.

Revan meringis. "Yaudah. Aku bakal bikin kamu kebobolan berkali-kali!"

"REVAAAN ARRGGGGH!"

Dan suaminya, sudah ngibrit sambil menggendong Adam keluar dari kamar. Bagaimana reaksi Adam? Dia ikut cengengesan tidak jelas. 

Dasar. Gak anak, gak bapak, sama aja! Nyebelin, batin Nina.

*

*

Nina berjalan bersama Revan, dan juga Adam di dalam stroller bayi yang didorong. Udara pagi menyadarkan mereka, bahwa kebersamaan mereka adalah hal terindah. Jadi, benar kata Revan, Nina juga jadi ingin berolahraga tuk memperpanjang umur, agar bisa bersama dengan keluarga kecilnya, untuk waktu yang lama. Ya, karena mereka lebih indah dari segala harta apapun.

(Un)perfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang