First Impression

68.5K 3.6K 46
                                    

Entah apa yang membuat Revan meng-iya-kan ucapan Aira, sehingga kini ia berada di mobil bersama gadis yang dilanda sakit kepala--hanya--karena mengonsumsi cocktail yang beralkohol, yang sesungguhnya tak ada apa-apanya dibanding wine, vodka, dan teman-temannya.

Aira mengetuk jendela mobil Revan, sehingga otomatis Revan membukanya. "Apa?"

"Bawa sahabat gue balik! Awas kalo nggak selamat!" ancam Aira.

Revan memutar matanya. "Lo mau percaya sama gue atau gue batal anter temen lo yang cupu ini?"

Sekilas, mendengar kata hinaan yang diucapkan pria di sebelahnya, gadis yang dikira mabuk ini melirik ganas dan menghembuskan nafas kesal. "Aira!" Nina akhirnya bersuara. "Gue mau ke dalem aja deh, nggak mau pu—"

Belum sempat Nina menyelesaikan ucapannya, sebuah rasa sakit menghujam kepalanya lagi. Lebih tepatnya, pusing dan mual-mual.

"Tuh kan, udah deh, lo dianter Revan aja," perintah Aira, yang hanya mendapat lirik sinis dari Revan. "Ya udah, kalian hati-hati ya. Nin, kalo lo udah di rumah, langsung hubungin gue."

Setelah Aira pergi, Revan kembali menutup kaca jendelanya. Hening dan hening. Bagaimana tidak, mereka bahkan belum saling mengenal.

Ralat, Revan-lah yang belum kenal gadis itu.

Tak perlu berkenalan, sepertinya semua gadis di kampus tau tentang Revan. Bagaimana tidak, baik Revan maupun band-nya, adalah salah satu yang paling difavoritkan gadis-gadis kampus.

Revan melirik ke arah gadis yang sedang mengatur nafas dan memejamkan matanya. "Pake sabuk pengaman lo."

**

Keduanya masih dalam diam, hingga suara sang gadis memecah keheningan. "Loh, kita mau kemana sih? Lo tau rumah gue nggak sih?"

"Nggak lah, lo aja nggak ngomong," balas Revan tak acuh.

"Harusnya lo nanyaaa! Gue udah nggak enak badan banget nih, pengen cepet-cepet sampe rumah.."

Revan melirik gadis di sebelahnya. Sudah diantar, malah protes terus. "Karena lo ikut gue, jadi gue berhak bawa lo kemanapun gue mau."

"Maksudnya? Kalo gitu gue pulang naik taksi aja. Turunin gu—"

"Lo santai bisa nggak sih? Kalo gue nelantarin lo, gue bisa disemprot sama Aira."

Nina mengerucutkan bibirnya. Seharusnya ia tadi bilang pada Aira jika ia baik-baik saja. Seharusnya sekarang ia masih berkumpul bersama para sahabatnya, sehingga tidak terjebak dalam kondisi penuh keanehan seperti ini.

Lelaki menyebalkan.

"Oh ya, nama lo siapa?" tanya Revan, masih dengan nada datarnya, tanpa menatap ke arah lawan bicara.

"Nina." Usai menjawab, ia melirik sinis ke arah Revan yang mengemudi dengan angkuhnya. "Gue nggak perlu tau nama lo, karena—"

"Karena lo udah tau nama gue, kan?" Nada sombong Revan mulai menguasai.

"Ya ya ya. Laki-laki paling diminati di kampus, vokalis band ternama kampus, terkenal ramah, meskipun gue yakin itu cuman pencitraan lo di depan temen-temen lain yang ngefans sama lo. Oh ya, dan lo juga lelaki yang selalu diperbudak pacarnya."

Glek.

Nina menyebutkan fakta demi fakta yang ia ketahui dari banyak sumber. Dari Aira—yang dulu pernah menyukai Revan sebagai kakak tingkatnya yang tampan—kemudian dari banyak teman-temannya yang sangat menggilai Revan.

"Terus, lo percaya sama itu semua?"

Nina mengendikkan bahunya. "Nggak tau. Karena menurut gue, lo sama sekali nggak friendly seperti yang orang-orang bilang. Lo tuh kasar dan sombong, tau nggak."

(Un)perfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang