When she knew about everything

54.8K 3.2K 106
                                    

Nina's POV

Aku tau tentang apa yang dibicarakan Revan dan Nina di dapur. Ya, aku tau. Dan aku paham tentang perasaan Revan yang masih belum bisa menerimaku seutuhnya. Astaga.. Lalu apa arti adanya aku selama ini di hidupnya? Apa arti tawa yang kita keluarkan bersama tiap saat? Apa arti detik demi detik kemesraan yang mengalir begitu indahnya?

Aku juga paham tentang hubungan Revan dan si cabai yang memang berjalan tahunan. Dan aku juga mengerti, bagaimana rasanya melupakan orang yang telah lama singgah di hati kita. 

Tapi... itu bukan berarti Revan selamanya nggak bisa melupakan Tamara kan?

Bukan berarti Revan gak bisa membuka hatinya untukku, kan?

Ckrek... Kudengar pintu kamarku terbuka, dan sesosok manusia masuk ke dalamnya. Entah Aira atau Revan, aku memilih tuk memejamkan mataku, berpura-pura tertidur. 

"Nina?"

Ah.. Suara surga.. Revan memanggil namaku. 

"Aku minta maaf ya.. Begitu banyak sakit hati yang kamu dapat dari seseorang yang gak berguna seperti aku. Aku mungkin gagal menjadi suami yang terbaik. Tapi aku gak akan pernah berhenti mencoba, setidaknya untuk bikin kamu bahagia. Karena dengan membuat kamu bahagia, pelan-pelan hatiku akan terisi penuh oleh kamu. Tetap sama aku ya? Tapi kalau memang kamu sudah gak kuat jalan sama aku, jujur sama aku. Karena aku gak mau kamu selalu sakit hati." Dan di detik ucapannya berakhir, ia mencium keningku sangat lama. 

Ya, ciumannya sangat lama.

Hingga aku harus menahan napas dan air mata yang sebenarnya sudah merebak ingin keluar.

Jika tau akan sesakit ini... Aku akan menolak takdir untuk datang ke pesta Aira dulu. Agar aku tak bertemu dengannya. Agar tak terjadi pertemuan demi pertemuan selanjutnya yang berujung menyesakkan.

*

*

"Nin. Ayo makan."

Aku mengerjapkan mataku. Astaga.. Rupanya setelah aku menangis bermenit-menit, aku ketiduran. Dan kini Aira sudah di hadapanku, dengan membawa sepiring ayam goreng kesukaanku. Nyam. Tapi tetap saja aku gak berselera.

Aku melirik jam dinding. Oh, masih jam delapan malam rupanya.

"Revan mana?" tanyaku, sambil mengubah posisiku menjadi duduk.

"Dia manggung hari ini sama band nya. Udah lah, gak usah diurusin dulu suami lo. Kayak dia ngurusin lo aja."

Ha ha. Benar sih kata-kata Aira. 

Tapi... aku juga gak tau kenapa hatiku seperti ini. Di sisi lain, aku tau bahwa aku memang sangat payah dan bodoh karena menyayanginya terlalu dalam. Tapi di sisi lain, aku ingin Revan mendapat sakit hati berlebih karena kehilanganku.

"Makan yuk? Gue suapin deh." bujuk Aira. "Tadi si Tata sama Mutia mau ke sini. Tapi kan ujan deres banget nih, jadi gatau tuh mereka jadi atau nggak."

"Oh.. Oke. Kalau gak bisa ya gak usah dipaksakan. Cukup lo aja yang jadi babysister gue saat ini." Aku meringis menggodanya.

Aira memutar matanya. "Najong deh. Gini-gini juga gue sayang sama lo tau!"

Aira mulai menyuapkanku suapan demi suapan. Disaat tertentu, meski Aira sangat menyebalkan, ia selalu menjadi moodboster terhandal disaat aku butuh apapun.

"Iya anjir, makanya gue ogah masuk kelas itu! Gue mending ngulang semester depan deh. Hahaha." Aira bercerita tentang salah satu dosen yang genit padanya di mata kuliah ilmu ekonominya itu. 

(Un)perfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang