Rencana Tamara

53.8K 3.1K 99
                                    

Nina's POV

"Keputusan kamu benar, Nina.. Meski Revan adalah anak mama sendiri, tapi, ya mama harus tegas dong."

Usai sesi menegangkan tadi, aku kini tengah menyender di bahu mama mertuaku. Beliau terus memberiku saran demi saran, yang cukup melegakan namun juga mengguncang hatiku. 

"Intinya, kalau Revan begitu, ya tinggalkan saja. Lagipula sebentar lagi kamu akan punya anak. Kamu gak boleh sakit hati terus. Happy dong. Ntar mama bantu kamu rawat cucu mama."

Tuh kan? Mama mertuaku baiknya gak ketulungan. 

"Ma?" panggilku. 

"Ya?"

"Aku... sayang banget sama Revan masalahnya, ma.. Dan nanti kalau aku cerai sama Revan, berarti mama bukan mama mertua aku lagi dong? Berarti aku gak akan bisa kayak gini sama mama lagi, dong?" Aku mengerucutkan bibirku. Membayangkan semuanya membuatku begidik ngeri.

Mama mertuaku menggeleng kencang. "Mau gimanapun status kamu dan Revan nanti... Ya kamu tetap menantu mama. Nggak bakal ada menantu-menantu lainnya, meski Revan menikah lagi. Ew, apalagi sama si cabe itu."

HAHAHAHA. Tuh kan? Mama mertuaku emang gaul banget. Aku aja kaget waktu mama mertua tau istilah cabe dan sebagainya. 

Dan ya.. Revan bodoh. Gak ada satupun manusia yang setuju kalau dia menikah dengan si cabe. Tapi--ya dasarnya juga bodoh, mau dibilang seperti apa ya tetap saja Revan bodoh. Tetap saja Tamaraaaa melulu. 

"Cabe tuh pantesnya nyelip di gigi. Bukan nyelip di hubungan kalian," canda mama.

Aku tergelak. "Tapi ma... Sebenernya kan aku yang nyelip di hubungan mereka. Berarti aku cabe dong?"

"Hus. Enggak lah! Mereka kan udah putus, terus baru kamu hadir. Lagian mau kayak apa, mama gak akan setuju si Revan sama Tamtam itu. Dan kalau cabe kayak kamu, mama rela panen cabe beratus-ratus kilo. Hahahaha."

"Apaan sih ma, jayus banget!" balasku. 

"HAHAHAHA."

Tuh kan? Mana ada seorang ibu yang ngakak kenceng sampai lalat minta masuk? Gak ada. Cuma mama mertuaku yang bisa begini. 

*

*

Revan's POV.

"Jadi istri kamu hamil juga, Van?" 

Ya, Tamara langsung menjatuhkan diri di sofa, di sampingku. Hari ini aku dan Tamara sedang makan siang bersama di salah satu kafe. Dan aku menceritakan kejadian tadi. Mulai dari Angga dan Aira yang membuat Nina tau semuanya, tentang mama yang marah dan murka padaku, hingga tentang kehamilan Nina. Dan point terakhir itulah yang membuat Tamara sangat shock dan kaget.

"Tapi kamu jadi nikahin aku kan, Van?"

Tamara.. Sungguh.. Aku juga tidak paham, mengapa lama-lama aku muak dengannya yang menuntutku untuk segera menikah dan menikah--padahal, sejujurnya aku belum percaya penuh pada kehamilannya. 

Tapi.. Masa aku ragu dengan Tamara? Aku yakin, dia tak akan mampu membohongiku.

"Van, jawab!" desak Tamara.

Aku menghembuskan nafas kasar. "Jadi. Tapi aku harus menunggu hingga anakku dan Nina lahir. Karena kita baru akan bercerai setelah itu."

"Hah? Itu lama banget, gila, Van."

"Habis gimana lagi?"

Tamara menggeleng keras. Aku tau ia kesal, bahkan sangat kesal karena aku menunda untuk menikahinya. "Gak. Gak bisa! Aku gak akan biarin kamu nikahin aku selama itu!"

(Un)perfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang