Berjanji menemani

57.2K 3K 114
                                    

Nina masih menangis. Bedanya, kini ia sudah memakai baju khusus untuk pengunjung di ruang ICU karena petugas menegurnya barusan. Usai memakainya, Nina cepat-cepat kembali ke samping ranjang Revan, dan duduk sembari menatap wajah suaminya. 

"Revan... Hiks.. Aku.. Aku minta maaf," ucap Nina, nyaris tertahan oleh air mata.

Revan mendengarnya. Revan juga merasakan pedih di hatinya. Tapi lagi-lagi, tak ada yang bisa Revan lakukan, kecuali menatap wajah isterinya, tanpa satu gerakan sedikitpun. Bukan tak mau bergerak--tapi ketahuilah dan ingatlah, jika kali ini, Revan memang tak mampu bergerak sedikitpun. 

Jika Revan bisa... Ia pasti sudah menghapus air mata Nina. Ia pasti sudah memeluk Nina. Dan jika Revan bisa, mungkin mereka akan berdamai dengan kenyataan dan hati, kemudian kembali melanjutkan dan merajut kisah kasih mereka yang sempat tertunda itu. Hingga akhirnya mereka bisa bersama, kemudian hidup bahagia. 

Tapi kembali lagi pada kenyataan yang ada.

Bahwa, harapan tinggal harapan. Kenanganpun tinggal sebuah nama. Karena nyatanya, belum ada jalan bagi mereka berdua untuk bersatu. Di saat Nina enggan, Revan berusaha mengejar. Dan kini, di saat Revan terguling lemah, Nina baru sadar akan arti hadirnya Revan di hidupnya. 

"Aku ngerasa bodoh banget, Van. Aku jahat sama kamu. Aku gak pantes jadi isteri kamu. Ya, kan?"

"..."

"Bahkan sekarang aku baru sadar betapa berartinya kamu, disaat kamu nyaris pergi dari aku. Tapi--kalau kamu gak kecelakaan, aku gak akan sadar kalau aku masih butuh kamu.. Ini bukan berarti aku senang kamu celaka, nggak sama sekali, aku justru sedih dan terpukul. Kenapa Tuhan menyadarkan aku dengan cara seperti ini? Memang gak ada cara lain selain dengan kamu kecelakaan?"

Percuma. Revan tetap diam. Tapi Nina tau, Revan pasti mendengar dan mengerti segala ungkapan hatinya. Hanya saja, keterbatasannya saat ini membuat Revan tak mampu merespon apapun. 

"Aku butuh kamu, Van.. Please, kamu harus sembuh, ya? Aku janji, ketika kamu sembuh, kita akan sama-sama lagi. Karena pada dasarnya, kita memang saling membutuhkan, kan?"

Revan hanya diam. Dingin tangan Nina yang menggenggam tangan Revanpun tak mampu merangsang tangan Revan untuk bergerak. Dokter benar, saraf Revan memang lumpuh. Nina harus mendoakan yang terbaik, agar Revan bisa kembali pulih dan menggenggam tangannya lagi.

Tanpa sadar, tangisan Nina membuat gadis cantik nan mungil itu mengantuk. Hingga tanpa sadar, pandangan Nina mulai menggelap, seiring rasa kantuknya yang makin bertambah. Yang tak berkurang sedikitpun, adalah kencangnya genggaman yang Nina berikan pada tangan sang suaminya, yaitu Revan. 

*

Nina berdiri di sebuah rumah berdindingkan kaca. Semua serba putih, sejuk, dan penuh bayangan. Hmm.. Apakah ia di surga? Ah, tidak. Ia masih baik-baik saja. Atau ini khayangan? Ah, masa, buktinya tak ada satupun bidadari di sini. 

"Kamu bidadarinya, sayang."

Deg.

Itu... Suara Revan, kan? Ah, Nina merindukannya.

Nina berbalik, dan menemukan Revan memakai jas serba putih, mendekat ke arahnya. Revan tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Nina. Nina pun merentangkan tangan, bersiap untuk memeluknya. Bersiap tuk menumpahkan segala rasa rindu yang ada, karena rindu pada suaminya telah mencapai batas maksimal, seolah sewindu ia tak bersua dengan suami manjanya ini. 

Nina berlari, dan Revan mendapatinya. Mereka berdua berpelukan untuk waktu yang cukup lama. 

"Aku kangen kamu," ucap Nina. 

(Un)perfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang