A New House

72.7K 3.2K 86
                                    

"Nin.. Aku rasa, kita harus cepet-cepet pindah deh dari rumah mama."

Nina yang berada dalam pelukan Revan menggeliat kecil. "Pindah? Kita bahkan baru menikah semalam. Gak usah terlalu terburu-buru.."

"Tapi kita butuh privasi, Nin. Seenggaknya kalau kita udah pindah di rumah sendiri, kita mau 'anu' sambil teriak pake toa juga bisa."

Pipi Nina memerah. Apa maksudnya 'anu'? Jika yang dimaksud adalah kegiatan yang baru saja sepuluh menit lalu mereka lakukan--ya, itu sukses membuat Nina ingin melakukannya lagi.

Begitu juga dengan Revan. Ia merasa, Nina sangatlah indah. Revan bangga, ia jadi yang pertama untuk Nina. Dan Revan bangga, dibalik kepolosan Nina, ternyata ia cukup liar untuk--memuaskannya? 

"Emang kita mau pindah ke mana? Apartemen kamu?"

"No, sayang. Aku kan udah lama gak pakai apartemen. Jadi, kita pindah di rumah baru." Revan menjawab dengan enteng. 

"Rumah baru? Emang kamu udah punya?"

"Detik ini juga kita beli. Kita pilih rumah."

**

Nina's POV.

"Detik ini juga kita beli. Kita pilih rumah."

What the.... Enteng banget ya ngomongnya? Detik ini beli rumah--sial, berasa beli baju aja. 

Oke, aku memang setuju dengan sarannya untuk pindah rumah. Tapi menurutku, jangan terlalu terburu-buru kan juga bisa?

"Revan.." panggilku. "Gak usah dulu lah. Nih ya, kita aja belum lu--"

"Sayang.." Ia menginterupsi. "Kamu paham kan, meskipun aku belum lulus kuliah, tapi aku udah handle beberapa cabang perusahaan papa. Kata mama dan papa, kita juga harus cepet punya rumah. Mereka ngedukung."

"Ta--"

"Sayang, kalau kamu masih ragu, cek aja deh saldo buku tabungan aku. Buat beli lima puluh helikopter juga masih sisa buat beli pabrik Victoria Secret."

"Mana?"

"Apanya?"

Aku menghentak. "Buku tabungan. Aku mau lihat."

Dia menunjuk ke arah lemari. Dengan cepat, aku berlari membukanya. 

Aku penasaran, memangnya berapa sih saldo buku tabungannya. Ya, aku berhasil menemukannya. Kulirik Revan sekilas. "Van, yang ini bukan?"

"Iya. Coba buka."

Tengtengteng.....

JEDER........!!!

What the hell, what the fuck, what the apa deh segala what the pokoknya! Sialan. Mataku--membulat. Aku segera loncat ke ranjang dan menatap Revan horor. 

"Van... Ini angkanya banyak banget, sumpah! Kalau aku jadi kamu, aku gak perlu kerja, karena mungkin 7 turunan gak akan habis!" Aku histeris.

Aku bukan senang. Tapi--aku malah ngeri melihat uang sebanyak itu.

*

Revan's POV.

"Kamu suka lihat uang sebanyak itu?"

Dia justru menggeleng. "Gimana yaa.. Duh, aku bingung banget bakal pakai buat apa, kalau uang ini punyaku. Dan--aku.... takut aja gitu. Aneh ya? Coba kalau Aira, pasti dia udah beli Limosin yang banyak. Tapi gue--ck, gak tau. Padahal sebenernya gue suka uang loh! Tapi ngeliat sebanyak ini, malah gue takut buat pakai."

Aku terkejut. Baru dia, cewek satu-satunya yang takut sama duit segepok. Aku menatapnya. Pikiranku kemana-mana.

"Kamu kenapa ngeliatin aku kayak gitu, Van?" tanya Nina. Ia membetulkan rambutnya, dan mengecek baju tidurnya. "Gak ada yang salah, kan?"

(Un)perfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang