Nina's POV
Yang awalnya gelap, kini menjadi berwarna sedikit demi sedikit. Yang awalnya tak terdengar, kini menjadi sayup-sayup suara yang menyesakkan. Yang awalnya tak sadar, kini perlahan membuka mata.
Ya, itulah aku.
Aku bahkan tak tau sudah berapa lama aku pingsan. Yang kutau, tangan Aira tengah menggenggam jemariku.
Yang kutau, ada teriakan mama. Ya, bukan mamaku, tetapi mama Revan yang kini sudah kupanggil mama.
Aku membuka mata, dan mengerjap pelan. Kulihat, Aira tersenyum kemudian mengusap air matanya. "Lo.. udah sadar?"
Kuanggukkan kepalaku pilu. "Gue haus," kataku.
Dengan sigap, Aira menuangkan segelas air dan membantuku meminumnya. Aira adalah malaikat. Dia benar-benar sahabat dikala aku jatuh sendirian.
"Makasih, Ra."
"Sama-sama.." Aira menatap ke arah pintu kamarku. "Di ruang tamu, Revan lagi dihajar habis-habisan sama mamanya."
"Ke..kenapa?"
Aira menghembuskan nafas kesal. "Jadi ceritanya, beberapa jam lalu lo pingsan kan habis lihat rekaman yang itu."
Ah. Rekaman yang membuat hatiku seakan patah tanpa sisa.
Rekaman yang memberiku pertanda bahwa Revan memang bukan untukku, bukan jodohku.
"--gue langsung panggil dokter dan telpon nyokapnya Revan. Ya... mau gak mau gue akhirnya cerita dong."
Astaga. Berarti mama kini telah tau semuanya?
Yang kumaksud 'mama' disini adalah mamanya Revan ya. Karena, dia jauh lebih peduli padaku daripada mama kandungku yang bahkan hanya tau kabar terakhirku di pernikahanku. Ah, sudahlah.
"Jadi, ya itu tuh hasilnya. Revan di bentak sampe mampus. Dibunuh sekalian a--"
Aku melotot. "Gue belum mau jadi janda, anjir."
Dan tanpa babibu... Aku segera berlari ke arah pintu, dan menguping pembicaraan.
*
*
Revan's POV
Aku bersalah. Dan aku pantas mendapatkan ini.
Ketika aku sedang asyik bersama calon ibu dari bayiku alias Tamara, tiba-tiba mama menelponku dan menyentakku agar aku pulang.
Dan inilah yang terjadi...
Mama marah, karena.... Ya, mama tau kejadian itu. Mama tau semua dari Aira. Dan aku yakin, Aira tau dari Angga karena memang Angga memperhatikan pembicaraanku dan Tamara. Dan semuanya... sampai di telinga Nina. Hingga ia pingsan, dan terluka hatinya.
Aku tak menyalahkan Aira. Aku tak menyalahkan Angga. Tidak sama sekali. Karena aku tau, sehebat apapun aku menyembunyikannya, pasti semua akan terbongkar. Jadi, ini sudah harus dan sewajibnya terjadi.
"Sekarang mau kamu apa, Van?" Mama, dengan ganasnya terus menghardikku dengan berbagai pertanyaan dan sentakan.
Aku diam.
"Apa mama pernah mengajari kamu seperti ini? Menghamili anak orang? Melukai isteri sendiri?"
"Ma--"
Mama mengangkat tangan, menyuruhku diam. "Tapi jujur... Jika kamu ingin menikahi Tamara, mama gak akan pernah setuju sampai kapanpun. Bahkan sampai mama di liang kuburpun, gak! Mama cuma mau menantu seperti Nina!"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)perfect Marriage [END]
Roman d'amourKarina Tessa Ananda : Tak tau bagaimana, tiba-tiba aku merasakan cinta begitu dalam pada pria yang sama sekali tak menginginkanku. Aku tau, mungkin saja pernikahanku dan dia akan berakhir buruk. Tetapi--entah kenapa, aku selalu ingin memperjuangkan...