Nina's POV
Mutia. Ya, aku sudah lama tak bertemu dengan sahabatku yang satu ini. Jadi hari ini, aku berencana untuk bertemu dengannya di kafe langganan geng kami. Tapi kali ini, aku hanya bertemu dengan Mutia. Aira dan Tata ada jadwal kuliah sehingga--ya sudahlah, kami berduapun tetap menyenangkan.
"Halo, lo udah dimana sekarang?" Suara Mutia menggema di layar ponselku.
"At home. Lo udah jalan?"
"Udah. Macet buset. Lo mau berangkat sendiri apa gue jemput aja? Atau mau dianter suami lo?"
Glek.
Aku menelan ludahku sendiri.
Diantar suami? Haha. Kata-kata sederhana, tapi menggores luka mengingat apa yang lelaki itu perbuat. Terlebih apa yang akan lelaki itu perbuat ketika anakku sudah lahir nanti. Apalagi kalau bukan menceraikanku?
"Gue naik taksi aja."
"Eh, jangan! Gue baru inget kalo lo lagi hamil kan? Gue jemput aja, gimana?"
"Gak bolak-balik?"
"NOOO! Gue jemput aja. Tunggu sana, jangan kemana-manaaa!"
"Iye bawel!"
Hah. Begitulah Mutia. Bawel dan pemaksa, tapi tetap kucinta hahaha. Lumayan lah, aku tak perlu menelpon dan menunggu taksi. Cukup duduk ditemani sepiring kue, menonton TV, dan menunggu kedatangan sahabatku.
*
*
Revan's POV
Aku melihatnya sebagai sosok yang rapuh. Sosok yang butuh dan wajib kusayangi--terutama kulindungi. Tapi nyatanya apa? Aku bahkan menyakitinya. Aku bahkan tega melukainya.
Awalnya... Aku biasa saja. Bahkan awalnya aku masih sangat yakin bahwa aku masih mencintai Tamara.
Hingga pada saat aku tau bahwa gadis mungil itu hamil, dan sangat rapuh karena keberadaanku yang akan meninggalkannya. Aku akan menceraikannya. Demi Tamara. Dari sorot matanya, aku bisa mengerti bahwa dia sangat pedih dan sakit. Dia berusaha bersikap dingin padaku, tapi aku tau itu tak akan merubah apapun. Ujungnya akan sama. Aku bercerai dengannya.
Tapi... akhir-akhir ini aku sangat mengkhawatirkannya. Akhir-akhir ini aku sering rindu padanya. Akhir-akhir ini aku selalu ingin memeluknya. Dan akhir-akhir ini pula, aku merasa akan jauh dengannya--entah mengapa.
"Kamu mau kemana?" Aku menatap si mungil yang tengah bersandar di sofa, menikmati brownies pandan kesukaannya, sembari menonton acara gosip di TV.
"Mau main sama Mutia."
"Kemana?"
Dia menoleh sekilas ke arahku, kemudian memalingkan wajah lagi ke arah TV. "Kafe langganan."
"Mau aku antar?" tawarku lembut.
"Gak perlu. Gue dijemput Mutia nanti."
Lihat? Dia memberi penolakan padaku. Dan baru kali ini aku merasakan sakitnya ditolak. Tapi kuyakin, sakit hatiku tak ada apa-apanya bila dibandingkan sakit hatinya saat menghadapiku dan Tamara.
"Aku jemput nanti, mau?"
"Gak usah," balasnya singkat.
"Atau aku ikut kamu main sama Mutia, mau?"
Kini, Nina justru berdiri dan menghampiriku dengan sorot matanya yang tak bisa kubaca. "Lo kenapa sih, Van? Lo perhatian gini disaat kita udah mau bubar. Dulu-dulu kemana aja? Percuma lo baik kayak gini, kalo akhirnya lo tetep bakal cerain gue. Iya, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)perfect Marriage [END]
RomanceKarina Tessa Ananda : Tak tau bagaimana, tiba-tiba aku merasakan cinta begitu dalam pada pria yang sama sekali tak menginginkanku. Aku tau, mungkin saja pernikahanku dan dia akan berakhir buruk. Tetapi--entah kenapa, aku selalu ingin memperjuangkan...